Kemarahan pendukung Trump tidak lagi fokus ke Demokrat –yang mereka anggap akan membawa Amerika menjadi negara komunis. Fokus baru kemarahan itu justru pindah ke ”para pengkhianat” di dalam partai. Yakni mereka yang tidak mau membatalkan kemenangan Biden di forum tertinggi konstitusi. Yang sidangnya, sebenarnya, dipimpin oleh Pence sendiri.
Orang awam mengira ketua itu bisa punya otoritas apa saja. Mereka sangat kecewa pada Pence yang dianggap lemah.
Maka ketika ribuan orang –umumnya memperkirakan 25.000 orang– selesai mendengar pidato Trump di sebuah lapangan terbuka –antara Gedung Putih dan gedung Capitol– semangat mereka menyala-nyala. Apalagi Trump menyerukan agar mereka semua bergeser ke Gedung Capitol. Lalu Trump juga memuji mereka sebagai pendukung yang ia sayangi dan ia banggakan.
Saat itu mereka sudah mulai mendengar desas-desus bahwa Pence tidak mau membantu usaha Trump. Mereka pun marah, frustrasi, dan terancam sebagai patriot yang gagal.
Begitulah. Seperti juga Gedung MPR Indonesia yang diduduki masa di tahun 1998, Gedung Capitol itu mereka duduki. Scaffolding yang untuk persiapan pelantikan presiden mereka pakai memanjat gedung. Jendela kaca dipecahkan. Pintu didobrak. Mereka banyak yang selfi: duduk-duduk di ruang ketua DPR dengan kaki di atas meja. Dan segala macam adegan.
Tapi mereka masih kalah patriotik dengan yang di Jakarta. Mungkin militernya lebih solid. Satuan SWAT yang begitu elite segera mengambil alih Gedung Capitol yang begitu sakral.