Indoposonline.id-Pengamat politik, pegiat media dan media sosial, Ninoy Karundeng, menyesalkan sebuah media nasional terkemuka yang dinilainya melakukan pemberitaan yang tidak profesional.
Melalui pemberitaannya, media tersebut melakukan framing menyerang Polri yang berpotensi merusak hukum dan demokrasi.
“Lagi-lagi media tersebut membuat berita opini yang meresahkan. Terbaru media itu menyerang Polisi terkait kematian 6 orang teroris FPI di KM 50, yang mana pemberitaanya menyudutkan Polri,” kata Ninoy Karundeng di Jakarta, kemarin.
Dalam catatan Ninoy Karundeng, sebelumnya media tersebut membuat hoaks pertemuan antara Moeldoko dan Megawati di Teuku Umar, yang telah dibantah dengan tegas.
Ditambahkan oleh Ninoy, bahwa publik menjadi paham tentang ritme dan gaya media tersebut dalam membuat framing berita. Bukan sekedar framing, opini investigatif itu secara sengaja membuat hoaks yang seolah memiliki dasar kebenaran.
“Menarik rekam jejak ke belakang, sejak masa kampanye Pilres 2019, media yang saya maksudkan cenderung memihak kepada pelawan pemerintahan Jokowi, dengan menjadikan Jokowi sebagai cover liputan dengan hidung Pinokio,” papar Ninoy Karundeng.
Publik sering terkecoh dengan pemberitaan media yang dulu ditunggu setiap minggu. Seolah media ini menjadi corong kebenaran karena kemampuan untuk mengolah kata dan data yang memang brilian.
“Lupakan media zaman Mas Goen. Kini tampaknya hedonisme dan konsumerisme menggerus idealisme banyak media, termasuk media ini. Padahal tanpa idealisme, media tidak memiliki nilai,” papar Ninoy Karundeng.
Media ini, menurut pandangan Ninoy Karundeng, menjelma menjadi media partisan. Opininya terakhir menyerang polisi dengan menyebutkan bahwa aparat polisi yang meninggal dunia dalam kecelakaan tidak termasuk dalam daftar nama yang disebutkan oleh Polri.
Padahal Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Rusdi Hartono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (26/3) menyampaikan bahwa salah satu terlapor atas nama EPZ telah meninggal dunia akibat kecelakaan tunggal pada 3 Januari 2021.
“Media ini berpotensi menyesatkan publik, misalnya dengan menyebut Bripka Adi Ismanto sebagai terlapor dalam kasus unlawfull killing. Padahal dari awal Adi Ismanto bukan terlapor dalam kasus tersebut. Adi Ismanto hanya sebagai saksi pelapor dalam kasus penyerangan laskar FPI kepada anggota Polri yang LP-nya sudah di-SP3 karena 6 tersangka FPI sudah meninggal dunia,” papar Ninoy Karundeng.
Lebih lanjut disebutkan oleh Ninoy Karundeng, sebenarnya almarhum Ipda Elwira sudah menjalani pemeriksaan di Komnas HAM. Bareskrim Polri dan Propam Polri juga sudah melakukan pemeriksaan.
“Artinya media seperti ini sengaja membuat opini yang bisa merusak tatanan hukum, membangun opini untuk memengaruhi hukum, juga berbahaya bagi demokrasi secara keseluruhan, karena media adalah salah satu pilar demokrasi,” pungkas Ninoy Karundeng. (msb/bas)