indoposonline.id-Kecelakaan reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima Daiichi, Jepang akibat gempa dan tsunami pada 11 Maret 2011 membuka mata banyak pihak untuk menjadi bahan pembelajaran. Dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan menjadi catatan khusus bagi negara-negara yang sudah mengoperasikan maupun masih mempertimbangkan PLTN sebagai sumber energi.
“Kecelakaan nuklir yang masuk kategori level 7 ini membuat 160.000 orang penduduk belasan desa sekitar pembangkit harus dievakuasi. Diprediksi, pembersihan zat radioaktif akan tuntas dalam kurun waktu 30-40 tahun dan saat ini sudah menghabiskan biaya kerugian sebesar 21 triliun Yen atau Rp2.772 triliun,” ujar Ir. Dwi Hary Soeryadi M.Mt., anggota Dewan Energi Nasional 2014-2019,” ujar Dwi Hary dalam Kuliah Tamu dan Webinar bertema “Renewable Energy: Indonesian Prospects & Alternatives Toward Clean Environment” yang diselenggarakan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin, Universitas Airlangga, Surabaya, akhir pekan kemarin.
Respons negara-negara di dunia terutama setelah terjadinya tragedi Fukushima juga perlu dicermati sebagai bagian mitigasi. Negara-negara yang saat ini sudah menggunakan nuklir pun menjadi lebih waspada dan sangat berhati-hati.
Sala satunya, kata Dwi, komentar Presiden Korea Selatan Mon Jae-in yang menyebut bahwa kecelakaan nuklir Fukushima telah dengan jelas menunjukkan bahwa reaktor nuklir tidak aman, tidak ekonomis, dan tidak ramah lingkungan.
Menurutnya kecelakaan reaktor nuklir yang disebabkan gempa menyebabkan dampak sangat buruk. Oleh karena itu, Korea Selatan secara bertahap akan menonaktifkan reaktor nuklirnya.
“Jerman pun demikian akan membekukan semua PLTN yang dimiliki secara bertahap sampai akhir 2022. Padahal Kanselir Jerman Angela Merkel adalah ahli fisika yang tahu betul nuklir seperti apa,” masih kata Dwi.
Dwi juga mengutip ahli lingkungan dari Jerman, Jochen Flasbarth, yang mengatakan bahwa gagasan energi nuklir dapat membantu iklim adalah ilusi. Sebab, energi nuklir saat ini hanya menghasilkan sekitar 5% pasokan energi dunia.
“Energi terbarukan akan lebih murah dan lebih murah lagi dari tahun ke tahun, sementara energi nuklir menjadi semakin mahal. Masalah keamanan juga menjadi pertimbangan, waktu lamanya pembangunan, biayanya juga sangat mahal, dan limbah atomnya pun sampai saat ini belum ada solusi penyelesaiannya seperti apa,” lanjut Dwi.
Sementara Jepang sejauh ini masih terus menggunakan PLTN. Namun, setelah tragedi Fukushima, sebanyak 54 reaktor langsung ditutup dan dievaluasi. Beberapa reaktor yang dinyatakan tidak layak langsung ditutup permanen dan sebagian upgrade kualitas fisik untuk mengakomodasi standar kemanan yang baru.
“Saat ini baru 9 reaktor yang disetujui beroperasi kembali. Jepang negara kaya tapi tidak kaya sumber energi maka tidak ada pilihan memfungsikan lagi PLTN,” kata Dwi.
Saat ini, kata Dwi, kurang lebih ada 31 negara dan 400 reaktor nuklir yang terbangun di seluruh dunia. Terbaru adalah reaktor nuklir di UAE dan Bangladesh. UAE mulai membangun pada tahun 2013 dan 2021 akan operasional bekerja sama dengan Korea Selatan dengan total 5,6 Gigawatt. Bangladesh mulai membangun pada 2017 dan akan operasional pada 2024 bekerja sama dengan Rosatom, Rusia sebesar 2,4 Gigawatt.
Lalu bagaimana negara-negara ASEAN menyikapi pembangkit listrik tenaga nuklir? Dwi menyatakan, mantan PM Malaysia Mahathir Mohammad pernah menyampaikan kerisauan soal penanganan limbah radioaktif. Sementara pemerintah Filipina menyoroti ketergantungan impor uranium jika menggunakan PLTN, limbah radioaktif, dan biaya yang mahal, dan keamanan.
Thailand belum pernah mengeluarkan kebijakan terkait nuklir, namun tim penelitiannya tergabung dalam riset reaktor fusi ITER (International Thermonuclear Experimental Reaktor), jenis reaktor yang tidak menghasilkan limbah radioaktif dan sedang dikembangkan oleh konsorsium berbagai negara.
“Vietnam sudah tanda tangan dengan Rosatom, Rusia tahun 2012 tapi tahun itu juga dia batalkan dan berpaling ke energi terbarukan. Sekarang malah mampu membangun PLTS 2.000 MW per tahun dan mulai memproduksi hulu ke hilir PLTS,” ujar Dwi.
Indonesia sendiri, lanjut Dwi, sudah mempertimbangkan nuklir di masa depan melalui PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUES). Dalam kedua payung hukum tersebut sudah jelas bahwa Indonesia punya target 31% energi baru dan terbarukan di tahun 2050 termasuk nuklir di dalamnya. Namun, penggunaan nuklir masuk sebagai prioritas terakhir.
“Prioritas pembangunan energi nasional sesuai KEN dan RUEN yang pertama maksimumkan pemanfaatan energi terbarukan. Lalu, kedua minimumkan penggunaan minyak, mengoptimalkan penggunaan gas bumi, batubara sebagai andalan pasokan energi nasional (penyeimbang), dan yang kelima energi nuklir sebagai pilihan terakhir,” kata Dwi.
Potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar. Berdasarkan data Dirjen EBTKE (Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral per Maret 2021, potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 417,8 GW.
Namun, yang sudah termanfaatkan baru 2,5%. Potensi tersebut masing-masing dari PLTA 75 GW (baru dimanfaatkan 7%), PLTS 207 GW (0.04%), PLTP 23,9 GW (5,6%), PLTB 60,6 GW (0.002%), Biomas 32,6 GW (5,5%), PLTL 17,9 GW, ditambah Biofuel/Biogas.
“Target bauran energi baru terbarukan kalau dikonversi sebesar 45,2 Gigawatt pada tahun 2025 dan 167.7 GW tahun 2050. Kita bandingkan dengan potensi kita. Dari energi terbarukan saja potensinya 417 GW. Sesuai target KEN dan RUEN kita butuh 167 GW sehingga hanya 30% saja,” ujar Dwi.
Menurut Dwi, capaian target bauran EBT hingga 2021 juga terus mengalami peningatan dari tahun ke tahun. Pada 2020 naik 2,33% menjadi 11,51% bauran energi nasional.
“Kalau tahun 2021 naik 2,99% saja maka tahun-tahun berikutnya lebih ringan cukup naik 2,13% tiap tahun sehingga mencapai bauran energi 23% pada 2025. Bahkan 2030 bisa mencapai 30% dan kalau naik 1,4% saja tiap tahun, Indonesia pada 2050 bisa mencapai 58% bauran energi terbarukan,” ujar Dwi.
Dosen Prodi Teknik Elektro Unair Lilik Jamilatul, Ph.D. mengatakan potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar dan masih sedikit sekali dimanfaatkan. Di antara sumber energi terbarukan tersebut, panas Matahari mungkin yang paling potensial.
“Potensi tenaga surya di Indonesia mencapai 200 Gigawatt, hampir 50% potensi seluruh renewable energy di Indonesia. Akan tetap pemanfaatannya masih kurang dari 100 MW. Kita bisa lihat bagaimana PLTS masih potensial di negara kita. Perlu digalakkan instalasi tenaga surya,” katanya.
Unair menjadi salah satu kampus yang menaruh perhatian besar untuk pengembangan PLTS. Salah satunya dengan riset pengembangan teknologi PLTS dengan Wijaya Karya Energi. Unair menjadi lokasi program kedua kerja sama Wijaya Karya Energi dengan kampus. Sebelumnya, Wijaya Karya Energi sudah menyelesaikan project Laboratorium PLTS di Institut Teknologi Sumatera (ITERA) di Lampung dengan kapasitas 1 MWP.
“Pabrik kami akan kami bawa ke kampus untuk menjadi pusat riset. Bukan hanya membangun satu unit pembangkit listrik di kampus, kami juga mempersilakan kampus mengakses pabrik kami yang ada saat ini. Kami berharap mulai api yang kecil ini Indonesia bisa mandiri membangun sendiri material pembangkit listrik dan sistem ketahanan energi nasional,” kata Daud Hadiwinarto, Business Development Manager Wijaya Karya Energi. (Msb/bas)