indoposonline.id – Lahirnya Undang-Undang No. 20/2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis merupakan babak baru perkembangan hukum merek di Indonesia.
Biasanya, dalam sengketa merek adalah pemahaman yang berbeda terkait dengan merek terkenal, salah satunya ada soal secondary trademark. Sebagai contoh, merek terkenal Malboro Lights, kandungan merek terkenal sejatinya melekat pada kata Malboro, dan selanjutnya kata Lights ini sejatinya merupakan secondary trademark, yang sangat terbuka untuk bisa digunakan oleh merek lain.
Namun saat ini banyak ditemukan sengketa merek dengan titik yang dipersoalkan pada secondary trademark, yang masih dinilai sebagai merek terkenal. Padahal secondary trademark tidak dapat dikategorikan/diklasifikasikan sebagai merek terkenal karena Secondary Trademark pada praktiknya digunakan sebagai varian.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Freddy Harris mengatakan, berdasarkan Pasal 18 ayat 3 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016 Tentang Pendaftaran Merek, merek terkenal harus memenuhi beberapa kualifikasi. Tetapi, katanya, peraturan tersebut masih cukup luas pengartiannya dan membutuhkan banyak pembuktiannya.
“Harus cari bagaimana caranya agar apa yang disebut merek terkenal dipahami secara bersama-sama, karena tingkat pengetahuan dan pengakuan terhadap merek tersebut masih butuh pembuktian,”katanya Rabu (24/3/2021).
Di sisi lain, Freddy menilai yang paling penting adalah goodwill untuk menjaga persaingan yang sehat. Dia mencontohkan sejumlah merek terkenal seperti IKEA, Piere Cardin, H&M, kendati sudah terkenal tetapi butuh perhatian konsultan merek. ”Misalnya IKEA yang sudah terkenal sejak tahun 80-an, tetapi orang Indonesia tidak tau, kecuali yang sudah ke luar negeri. Tetapi sekarang sudah sangat terkenal jadi ada beberapa kriteria yang masih belum bisa terpenuhi oleh merek ini,” katanya.
Oleh karena itu, Freddy menilai diperlukan pemahaman secara komprehensif kepada para pelaku usaha baik pengusaha, produsen, konsultan, serta akademisi tentang kriteria merek terkenal yang berlaku di Indonesia, dan praktik terbaik mengenai pengujian dan identifikasi merek terkenal secara keseluruhan.
Sementara itu, Ketua Komisi Banding Merek, Teddy Anggoro, mengatakan, ketika UU Merek pertama kali diberlakukan, ada 1,4 juta permohonan merek diajukan kepada pemerintah. “Di Indonesia, merek bersifat konstitutif dan harus didaftarkan. Hak itu muncul ketika sudah ajukan permohonan. Jadi siapa daftarkan pertama maka dia yang dapatkan hak untuk merek tersebut,” katanya.
Teddy juga menyoroti terkait penyelesaian sengketa merek di tingkat pengadilan. Sebab, pertimbangan dan pandangan hakim atas suatu kriteria merek terkenal seringkali berbeda, mengingat bahwa padanya praktiknya, kriteria atas keterkenalan suatu merek bisa saja berpedoman selain dari ketentuan UU Merek dan Permenkumham 67/2016 (misalnya berdasarkan best practice secara global/TRIPS Agreement).
“Apabila ada acuan yang digunakan kurang tepat, misalnya penetapan merek yang memiliki unsur kata umum sebagai merek terkenal, hal tersebut sangat berpotensi menghalangi pihak lainnya dalam menggunakan merek dengan unsur kata umum (descriptive) yang sama, dimanaa secara teori hukum, penggunaan kata umum (descriptive) seharusnya tidak dapat diberikan kepada satu pihak secara eksklusif,” pungkas Teddy. (ydh)