indoposonline.id – Untuk pertama kalinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap kasus dugaan tindak pidana korupsi. Kasus yang dihentikan tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada BPPN.
Ada dua tersangka yang dihentikan penyidikannya oleh lembaga antirasuah, yakni Sjamsul Nursalim (Pemegang saham pengendali BDNI) dan Itjih Nursalim (swasta).
Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata menyebut, keduanya dilepas statusnya sebagai tersangka karena beberapa pertimbangan. “Salah satunya adalah putusan MA atas pengajuan upaya hukum kasasi mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung kepada Mahkamah Agung,” katanya saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Kamis (1/4).
Menurutnya, KPK sudah berupaya memproses kasus tersebut sampai dengan diajukan Peninjauan Kembali (PK). Akan tetapi berdasarkan Putusan MA RI atas Kasasi SAT Nomor : 1555 K/Pid.Sus/2019 tanggal 09 Juli 2019 dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung menyatakan, bahwa perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak pidana dan melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
“Maka KPK meminta pendapat dan keterangan ahli hukum pidana yang pada pokoknya disimpulkan bahwa tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh KPK,” ujarnya.
Alex mengatakan, penghentian penyidikan kasus ini sesuai dengan ketentuan Pasal 40 Undang Undang 19 Tahun 2019. Di mana penghentian penyidikan sebagai bagian adanya kepastian hukum dalam proses penegakan hukum sebagaimana amanat Pasal 5 UU KPK. “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK berasaskan pada asas Kepastian Hukum,” kata dia.
Diketahui, Sjamsul Nursalim dan isterinya Itjih Nursalim ditetapkan tersangka oleh lembaga antirasuah sejak 13 Mei 2019 lalu. Dalam penetapan tersebut, keduanya diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun.
Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp220 miliar.
Atas perbuatan tersebut, keduanya disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(ydh)