indoposonline.id – Pertemuan Pemimpin ASEAN di Jakarta menyepakati agar militer Myanmar segera menghentikan kekerasan dan memulai proses dialog konstruktif. Semia pihak diminta untuk menahan diri dan menaati lima poin kesepakatan yang sudah ditandatangani pada akhir pecan lalu (24/4).
“Poin pertama adalah kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya,” demikian bunyi kesepakatan.
Kedua, ASEAN juga meminta dimulainya dialog konstruktif antara semua pihak yang berkepentingan untuk mencari solusi damai demi kepentingan rakyat negara itu. Para pemimpin ASEAN juga bersepakat adanya utusan khusus untuk memfasilitasi dialog tersebut dengan bantuan sekretaris jenderal ASEAN.
Dan, keempat, mereka kemudian sepakat untuk menyediakan bantuan kemanusiaan ke Myanmar. Terakhir, pemimpin ASEAN sepakat adanya utusan khusus dan tim delegasi akan mengunjungi myanmar untuk bertemu semua pihak yang berkepentingan.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo meminta militer Myanmar untuk menghentikan kekerasan dan memulai proses dialog yang inklusif dalam Pertemuan Pemimpin ASEAN di Jakarta. Berbicara setelah pertemuan rampung, Presiden Jokowi menegaskan “kekerasan harus dihentikan dan demokrasi, stabilitas, dan perdamaian di Myanmar harus segera dikembalikan”.
Selain itu, tambah Jokowi, Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing diminta memberi komitmen atas beberapa hal, termasuk memulai proses dialog yang influsif serta pembebasan tahanan politik. “Perlu dibentuk special envoy ASEAN yaitu Sekjen dan Ketua ASEAN untuk mendorong dialog dengan semua pihak di Myanmar,” ujarnya.
Yang ketiga, adalah pembukaan akses bantuan kemanusiaan dari ASEAN, yang dikoordinir oleh Sekjen ASEAN dan AHA center. “Indonesia berkomitmen untuk mengawal terus tindak lanjut komitmen agar krisis politik Myanmar dapat segera diatasi.
“Kita bersyukur apa yang disampaikan Indonesia ternyata sejalan apa yang disampaikan pemimpin ASEAN. sehingga dapat dikatakan pemimpin ASEAN telah mencapai konsensus,” papar Jokowi.
Selain dihadiri oleh Sultan Hassanal Bolkiah dan Presiden Joko Widodo, sejumlah pemimpin atau perwakilan dari negara-negara ASEAN hadir dalam pertemuan tersebut. Di antaranya Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing.
Kehadiran pimpinan militer Myanmar di Jakarta banyak ditentang oleh para aktivis dan politisi pro-demokrasi yang membentuk pemerintahan bersatu, National Unity Government (NUG), April ini.
NUG mendesak negara-negara tetangga untuk tidak mengakui junta dan meminta perundingan sebaiknya dengan pihak mereka. Di antara aktivis yang menentang kehadiran sang jendral, termasuk Kyaw Win, direktur badan HAM yang berkantor di London, Burma Human Rights Network (BHRN).
“Apakah Presiden Jokowi akan berjabat tangan dengan Min Aung Hlaing yang melakukan genosida Rohingya dan membunuh 700 orang Burma lainnya,” cuit Kyaw Win. “Undanglah pemerintahan NUG.”
Indria Fernida dari Bike for Democracy, yang menggelar demonstrasi di dekat Gedung Sekretariat ASEAN, juga menentang kehadiran Min Aung Hlaing di Jakarta.
“Kami menuntut agar militer Myanmar menghentikan segala bentuk kekerasan, penangkapan sewenang-wenang kepada masyarakat sipil, termasuk pembela HAM dan membebaskan mereka tanpa syarat. Kemudian membuka akses kemanusiaan dan memberikan jaminan dasar hidup bagi rakyat Myamar. Serta mengembalikan demokrasi di Myanmar sesuai Pemilu tahun 2020,” tegasnya.
Sejauh ini, kepala negara yang hadir termasuk Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, dan PM Vietnam, Pham Minh Chinh. Adapun PM Thailand, Prayuth Chan-ocha mengatakan akan diwakili Don Pramudwinai, yang juga menteri luar negeri.
Dinna Prapto Raharja selaku pengamat hubungan internasional sekaligus mantan Utusan Indonesia Untuk Komisi HAM ASEAN, mengaku menyesali ketidakhadiran sejumlah kepala negara.
“Dalam dunia diplomasi, ini tanda bahwa mereka tidak menginginkan ada konsensus terjadi dalam pertemuan ASEAN Summit ini, tapi mereka harus tahu bahwa konsensus bukan segala-galanya untuk menyelesaikan masalah.”
“Justru negara-negara yang tidak hadir mengirimkan kepala negaranya akan mendapatkan sorotan internasional karena tidak menyambut baik uluran tangan Indonesia untuk membicarakan masalah ini,” ujarnya sebagaimana dikutip BBC.
Empat negara secara khusus telah mendesak adanya intervensi. Pada 31 Maret, menteri luar negeri Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Filipina mengunjungi China, yang diyakini membahas Myanmar. Sebagai ketua ASEAN saat ini, Brunei Darussalam juga aktif dalam menyusun pernyataan bersama yang menyatakan keprihatinan. (tim)