indoposonline.id – Rencana proyek strategis nasional pembangunan pipa gas Cirebon-Semarang, mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Selain itu publik juga melihat adanya perbedaan pendapat antara Kementerian ESDM dengan BPH Migas.
Menurut Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahean, perbedaan mencolok itu terutama pada soal pendanaan proyek.
“Dimana Kementerian ESDM ingin agar proyek pipa gas ini dibiayai oleh APBN. Sedangkan BPH Migas maunya dibiayai oleh swasta dan menjadi milik swasta,” ujarnya Selasa (27/4/2021).
Dua pemikiran itu lanjut Ferdinand, tentu sangat kontras. Dan pola pikirnya sangat mencolok antara semangat konstitusi dengan semangat kapitalis.
“Gas adalah salah satu cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak layaknya Bahan Bakar Minyak,” ujarnya.
Menurut Ferdinand, gas adalah salah satu komponen utama dan sangat besar porsentasinya dalam sektor industri yang mempengaruhi harga produk. Maka selayaknya semua infrastruktur produksi gas dan distribusi gas ini harus dikuasai oleh negara sebagaimana diamanatkan konstitusi.
“Bukan malah diserahkan kepada swasta yang akan membuat negara ketergantungan kepada swasta. Ini bahaya,” ujarnya.
Lebih lanjut Ferdinand mengatakan, selama ini kita juga mendengar riuhnya soal harga gas industri. Presiden bahkan pernah marah kenapa harga gas mahal. Dan akhirnya pemerintah mengeluarkan keputusan yang memaksa PGN menjual gas dalam harga tertentu. Yang mengakibatkan tekanan terhadap keuangan PGN dan berdampak pada pendapatan serta laba.
“Padahal salah satu penyebab utama mahalnya harga gas adalah mahalnya biaya toll fee yang harus dibayar kepada swasta untuk mendistribusikan gas,” ujar Ferdinand.
“Sebuah keputusan yang memperkaya swasta dan menyandera kepentingan negara. Maka kesalahan masa lalu tersebut tidak boleh diteruskan oleh BPH Migas dan harus merubah pola pikirnya,” imbuhnya.
Menurut Ferdinand, pilihan terbaik saat ini adalah, proyek pipa gas Cirebon Semarang tersebut dibiayai oleh APBN. Sehingga hal tersebut menegaskan posisi negara menguasai cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan akan mampu menekan harga gas karena biaya distribusi akan berkurang dan tidak lagi membayar mahal kepada swasta.
“Saya heran bila BPH Migas tidak berpihak kepada negara, jangan-jangan ada rente yang manis disana sehingga lebih memilih swastanisasi kapitalisme dibanding menegakkan konstitusi,” kata Ferdinand.
“Saya berharap agar Presiden Jokowi menegur BPH Migas dan memerintahkan agar proyek pemipaan ini dilaksanakan oleh pemerintah dengan APBN demi masa depan industri yang kompetitif,” pungkasnya. (msb)