Di altar tersebut, di tahun 2014, juga ditempatkan sinci orang terkenal: KH Abdurrahman Wahid. Gus Dur. Presiden ke-4 kita.
Dengan demikian siapa pun yang sembahyang di altar itu akan otomatis sembahyang juga untuk Gus Dur dan Ita Martadinata.
Sebagai aktivis Tionghoa, Harjanto terus berpikir bagaimana menempatkan peristiwa kerusuhan Mei 1998. Yang tidak perlu membuka luka lama tapi juga jangan sampai melupakannya. Maka ia memilih lewat cara budaya itu.
Sudah menjadi budaya di kalangan Tionghoa untuk selalu memperingati sesuatu dengan sajian makanan. Ada hari raya bakcang, hari raya rebutan, hari raya Imlek, cap gomeh –yang semuanya serba bernuansa makanan.
Maka Harjanto berpikir makanan apa yang cocok untuk memperingati kerusuhan Mei 1998.
Pertama, ia temukan pare. Yang rasanya pahit itu. Meski pahit pare bisa untuk makanan. Agar ada unsur pahit dan pedas ketemulah rujak. Rujak pare.
Lalu harus ada unsur wanita. Itu lantaran korban kerusuhan tersebut adalah wanita. Yakni wanita Tionghoa. Wanita dilambangkan bunga. Tapi bunga apa yang sekaligus bisa untuk makanan?