indoposonline.id – Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa Kasubdit Ekspor Direktorat Teknis Kepabeanan, Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu, Vita Budhi Sulistyo di Gedung Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, pada Jumat (2/7). Saksi tersebut diperiksa terkait penyidikan kasus dugaan korupsi penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional pada Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
“VB (Vita Budhi Sulistyo) diperiksa terkait prosedur ekspor Sarang Burung Walet (SBW),” ungkap Kapuspenkum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak.
Saat bersamaan, tambahnya, Kejagung juga memeriksa lima orang saksi lainnya, yaitu CR (Relation Manajer Unit Binis LPEI), FH (Kepala Departemen LPEI), ER (Kepala Departemen Analisa Resiko Bisnis II LPEI) dan JA selaku Kepala Departemen Analisa Resiko Bisnis LPEI, diperiksa terkait pemberian fasilitas kredit kepada PT MWI.
Ada pula saksi R selaku Konsultan Penilai Publik dari Kantor Konsultan Jasa Penilai Publik Romulo, Chalie dan rekan. “Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan dan menemukan fakta hukum tentang tindak pidana korupsi yang terjadi dalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI,” tambah Leo.
Penyidikan kasus penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-13/F.2/Fd.2/06/2021 tanggal 24 Juni 2021.
Semula, LPEI diduga telah memberikan fasilitas pembiayaan kepada sembilan debitur. Yaitu; Group Walet, Group Johan Darsono, Duniatex Group, Group Bara Jaya Utama, Group Arkha, PT Cipta Srigati Lestari, PT Lautan Harmoni Sejahtera dan PT Kemilau Harapan Prima serta PT Kemilau Kemas Timur.
“Pembiayaan kepada para debitur tersebut sesuai laporan sistem informasi manajemen resiko dalam posisi colektibility 5 (macet) per tanggal 31 Desember 2019,” ungkap Leonard.
LPEI didalam penyelenggaraan pembiayaan ekspor nasional kepada para debitur diduga dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola yang baik. Sehingga berdampak pada meningkatnya kredit macet/non performing loan (NPL) pada 2019 sebesar 23,39%.
“Berdasarkan laporan keuangan per 31 Desember 2019, LPEI diduga mengalami kerugian tahun berjalan sebesar Rp4,7 triliun. Jumlah kerugian dikarenakan adanya pembentukan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN),” kata Leo.
Selanjutnya berdasarkan statement dilaporan keuangan 2019, pembentukan CKPN di tahun 2019 meningkat 807,74% dari RKAT dengan konsekuensi berimbas pada provitabilitas (keuntungan). Kenaikan CKPN untuk meng-cover potensi kerugian akibat naiknya angka kredit bermasalahan yang disebabkan oleh kesembilan debitur tersebut.
“Salah satu debitur yang mengajukan pembiayaan kepada LPEI tersebut adalah S, Dirut dari tiga perusahaan Grup Walet yaitu PT Jasa Mulia Indonesia, PT Mulia Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia,” paparnya.
Tim pengusul dari LPEI yang terdiri dari Kepala Departemen Unit Bisnis, Kepala Divisi Unit Bisnis, dan Komite Pembiayaan, tidak menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana yang telah ditentukan dalam Peraturan Dewan Direktur No. 0012/PDD/11/2010 tanggal 30 November 2010 tentang Kebijakan Pembiayaan LPEI.
“Akibatnya menyebabkan debitur, dalam hal ini Group Wallet yaitu PT Jasa Mulya Indonesia, PT Mulya Walet Indonesia dan PT Borneo Walet Indonesia dikatagorikan Colectibity 5 (macet) sehingga gagal bayar sebesar Rp683,6 miliar yang terdiri dari nilai pokok Rp576 miliar ditambah denda dan bunga Rp107,6 miliar,” tandas Leo. (ydh)