Bersama: Erik Kurniawan
Peneliti Sindikasipemilu dan Demokrasi (SPD)
Secara simpel metode konversi suara itu adalah bagaimana tata cara atau mekanisme mengubah suara pemilih yang sudah datang memilih ke TPS atau yang sudah nyoblos untuk jadi kursi DPR, DPRD atau DPRD kabupaten kota. Sesungguhnya se-simple itu. Di mana rumus untuk menghitung suara partai politik ke kursi parlemen. Jadi, seluruhnya tergantung siapa yang mencoblos atau datang mencoblos, bukan jumlah penduduk yang ada di daerah tersebut. Sehingga ini bergantung seberapa tinggi partisipasi pemilih di pemilu.
Kursi sudah ditetapkan di waktu penetapan daerah pemilihannya. Kalau sekarang lebih banyak semakin tinggi partisipasi, berarti harga kursinya itu makin bagus, semakin representative atau semakin terwakili.
Harga kursi itu dalam artian berapa sih suara yang harus dikumpulkan oleh partai politik untuk dapat satu kursi dpr misalnya. Misalnya, untuk satu kursi DPR dibutuhkan suara rata-rata antara 300ribu sampai 400ribu suara. Nah, tapi kan karena pemilu kita itu sistemnya proporsional. Proposional itu maksudnya di satu daerah pemilihan, itu ada banyak kursi, paling sedikit 3 paling banyak 10 untuk DPR RI, sedangkan untuk dprd itu paling sedikit 3 paling banyak 12.
Partai politiknya juga kan ada banyak, tahun 2019 kemarin ada 16 partai politik. Nah, siapa yang berhak mendapatkan kursi? Nah, metode inilah yang menentukan partai mana, dengan perolehan suara berapa maka dia dapat kursi berapa.
Di sistem pemilu kalau kita memakai pemilu proporsional, dia selalu melibatkan yang namanya metode konversi suara, ada banyak metode konversi, tapi kira-kira ada dua keluarga besar di metode konversi suara itu yang pertama tadi ada kelompoknya kuota, ada inisiator-inisiatornya. Lalu kedua ada metode divisor.