indoposonline.id – Pemerintah berencana akan menggelentorkan kembali Bantuan Sosial (Bansos) COVID-19 berupa uang tunai Rp600.000 kepada masyarakat kurang mampu.
Kebijakan tersebut seiring dengan penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat selama periode 3-20 Juli 2021.
Merespons hal tersebut, pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mewanti-wanti pengelola dana bansos agar tidak melakukan penyimpangan. Sebab, selain merugikan keuangan negara, penyimpangan dana bansos juga diancam pidana maksimal hukuman mati.
“Korupsi di waktu bencana, termasuk bencana pandemi COVID-19 itu hukumannya mati,” kata Abdul Fickar saat dihubungi wartawan, Sabtu (3/7).
Ancaman hukuman tersebut tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU No 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Disebutkan, bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
“Pasal 2 ayat (2) disebutkan ‘Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan,” jelas Abdul Fickar.
Untuk itu, dia meminta kepada penegak hukum untuk tidak kompromi atau kongkalingkong dengan pelaku korupsi tersebut. “Kita doakan kalau bantuan COVID-19 dikorupsi, koruptor dan penegak hukum yang kongkalingkong bisa kena sekalian,” ujarnya. (ydh)