IPOL.ID – Kejaksaan Agung (Kejagung) menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terkait kasus dugaan korupsi PT Pelindo II. Korps adhyaksa beralasan, kasus tersebut telah diterbitkan SP3 lantaran tidak ditemukan kerugian negaranya.
Merespon hal itu, Direktur Eksekutif Indonesia Justice Watch (IJW), Akbar Hidayatullah mengaku heran kasus tersebut dihentikan di tengah proses penyidikan yang berlangsung sudah cukup lama.
“Ini sebenarnya agak lucu, kalau alasan SP3-nya tidak menemukan kerugian negara,” kata Akbar saat berbincang dengan ipol.id, Selasa (7/9).
Sebab, menurutnya, untuk meningkatkan status penyelidikan maupun penyidikan suatu kasus, penegak hukum harusnya lebih dulu mengantongi kerugian negaranya. “Jadi, mbok ya kalau cari alasan SP3 yang masuk akal sedikit lah,” singgungnya.
Namun demikian, Akbar enggan berspekulasi soal penghentian kasus tersebut yang diduga setelah Menteri BUMN Erick Tohir mengganti komisaris perusahaan pelat merah tersebut pada Juni 2021. Di antaranya mengangkat komisaris baru mantan Staf Ahli Jaksa Agung, Sudung Situmorang yang sepertinya menggantikan posisi mantan Jampidsus D Andhi Nirwanto yang sebelumnya menjadi komisaris di BUMN tersebut.
“Kami tidak ingin berspekulasi sehubungan adanya pergantian pengurus Pelindo II yang diisi oleh mantan petinggi Kejaksaan,” ujar Akbar.
Sebelumnya, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Supardi mengakui pihaknya telah menghentikan penyidikan dugaan korupsi Pelindo II. Alasannya karena tidak ditemukan adanya unsur kerugian negara. “Iya sudah (SP3-red) karena unsur kerugian negara yang sulit ditemukan,” ujar Supardi kepada wartawan.
Dia menjelaskan kerugian yang terjadi dalam proses perpanjangan masa kerja pengoperasian dan pengelolaan pelabuhan PT Pelindo II tersebut masih berupa potensi (potencial loss).
“Jadi masih ada “opportunity cost” yang mungkin bisa diperhitungkan dan kami belum bisa pastikan berapa. Apakah itu rugi, apakah untung itu belum bisa dipastikan karena valuasi bisnis kan tidak ‘stuck’ kan,” ujar Supardi.
Dalam kasus ini, kata dia, penyidik telah merujuk pada hasil audit dan investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Begitu pun hasil pendalaman dalam setiap transaksi yang ada dalam perpanjangan kerja sama tersebut.
Menurut dia, mazhab yang digariskan pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menentukan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara adalah “actual loss”. Ini diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016.
Adapun kasus itu terkait perpanjangan kerjasama pengoperasian dan pengelolaan pelabuhan antara Pelindo II dengan PT Jakarta International Container Terminal (JICT).
Status kasus ini sudah ditingkatkan ke penyidikan lebih kurang selama setahun. Namun meski sudah diperiksa puluhan saksi termasuk deretan petinggi Pelindo II, namun korps adhyaksa tak kunjung menetapkan tersangkanya.(ydh)