IPOL.ID – Praktik digitalisasi memang sudah merambah ke hampir semua layanan di industri keuangan karena memang dunia juga memang sedang mengarah kepada digital economy. Meski demikian isu keamanan siber tampaknya belum menjadi concern yang penting bagi pengelola lembaga keuangan dan juga lembaga publik di Indonesia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi perhatian lebih terkait fenomena tersebut mengingat potensi yang sangat besar dari perkembangan praktik digital di Indonesia.
“OJK telah mengeluarkan aturan agar perbankan bisa mengambil peluang bisnis di era digital ini guna mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Namun demikian stabilitas perlu dilanjutkan dengan pertumbuhan ekonomi,” kata Deputi Komisioner Perbankan III OJK Slamet Edy Purnomo pada seminar bertajuk “Mengelola Risiko Siber dalam Industri Digital”, Kamis (23/9).
Indonesia ditambahkan Slamet, memiliki peluang untuk bertumbuh pesat di industri digital karena keunggulan demografi. Indonesia membukukan penambahan konsumsi digital baru sebesar 37 persen pada 2020. Indonesia berpotensi menjadi pemain ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara yang diestimasikan mencapai USD 124 miliar pada 2025.
Menurut Edit Prima dari BSSN, ruang siber di Indonesia ada tiga lapisan. Lapisan pertama yaitu lapisan fisik, lapisan kedua lapisan teknis, lapisan ketiga adalah lapisan sosial.
“Hingga bulan September lalu terdapat sebanyak 927 juta serangan siber ke Indonesia, terbanyak adalah serangan malware, DDOS, trojan. Nantinya akan ransomware akan jadi serangan yang paling banyak,” kata dia.
Berdasarkan data BSSN, jumlah serangan siber sepanjang Januari sampai September 2021 mencapai lebih dari 927 juta. Dari angka itu sektor keuangan adalah sektor kedua tertinggi yang mengalami serangan siber setelah sektor pemerintahan.
Industri keuangan lanjut Edit merupakan sektor yang paling sering terkena serangan siber sejalan dengan masifnya transformai digital sektor perbankan.Sepanjang tahun lalu, insiden siber di sektor tersebut adalah serangan dalam bentuk malware, phisng, pencrian data, DDOS, skimming dan lainnya.
Pernyataan itu ditegaskan kembali oleh Brigjen Pol Helmi Santika, dari Bareskrim Polri. Menurut dia seiring dengan strategi perbankan untuk mendigitalisasi semua layanannya, banyak penjahat yang juga mengincar sektor ini.
“Perbankan menjadi sektor yang paling cepat menyesuaikan diri dengan perkembagan teknologi informasi. Hal itu juga menjadi pemicu peningkatan tindak pidana siber terkait perbankan,” kata dia.
Kejahatan siber yang menimpa perbankan antara lain penipuan dan juga aksi ilegal berupa peretasan. Berdasarkan data kepolisian pada 2017 terdapat 1.430 aksi penipuan onliner dan 153 aksi ilegal, tahun 2018 jumlahnya meningkat sebesar 1.781 dan 263, tahun 2019 sebanyak 1.617 dan 248, 2020 sebesar 1.319 dan 303. Pada tahun ini sampai semester pertama lalu, jumlahnya 508 penipuan online dan 167 peretasan.
Adapun sasaran kejahatannya adalah data nasabah, infrastruktur TI dari lembaga dan juga cyber fraud. “Secara umum manajemen risiko yang bisa dilakukan perbankan di antaranya : two factor authentification, mesin pembaca KTP-el yang telah disertifikasi, penyimpanan gambar atau imege KTP Nasabah, verifikasi nomor telepon selular, dan disaster recovery plan,” kata Brigjen Pol Helmi. (sol)