IPOL.ID – Saat ini marak pinjaman online (pinjol). Dalam aturannya pinjol disebut pula layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi peer to peer landing (P2P). Berbeda dengan bank, pinjaman yang disalurkan adalah berdasarkansimpanan dana dari masyarakat, kemudian bank akan menyalurkan dalam bentuk kredit.
Dalam podcastnya bersama Ipol.id baru-baru ini, Ketua Tim Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam Lumban Tobing mengatakan P2P merupakan platform market place, dimana pinjol hanya menjadi perantara yang mempertemukan antara investor (pemberi pinjaman) dan calon peminjam. Yang menjadi titik fokus adalah harus ada kesepakatan antara si pemberi pinjaman dan penerima pinjaman.
Perlu diketahui, kendati pinjol menyediakam pinjaman, namun bunga dan jangka waktu sepenuhnya diberikan atas perjanjian kedua belah pihak, yakni investor/pemberi kredit dengan calon nasabah yang dieprantarai platform pinjol. Kalau ada asumsi masyarakat mengatakan pinjol itu menyengsarakan, maka dilihat dulu faktanya. Saat ini ada 107 fintech landing yang terdaftar atas berizin di OJK.
Kemudian sudah menyalurkan kredit kepada 66,7 juta peminjam dengan total pinjaman Rp263 triliun dengan outstanding saat ini mencapai Rp24 triliun.
Dari fakta itu, pinjol ini membantu masyarakat. Tujuannya adalah untuk menjembatani kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dilayani oleh sektor informal seperti perbankan.
Perbankan mungkin tidak compatible untuk meminjam, di Pegadaian tidak dapat meminjam karena tidak ada barang yang dijaminkan. “Nah segmen masyarakat inilah yang bisa masuk ke pinjaman online yang memang terdaftar dan berizin di OJK. Jadi sebenarnya juga membantu,” ujar Tongam.
Yang menjadi masalah saat ini adalah masyarakat terjebak di pinjol ilegal. Pinjol ilegal ini adalah kejahatan, bukan jasa keuangan. Sama contohnya ketika kota bicara uang palsu.
Uang palsu tidak diawasi, tapi tetap harus diberantas. Sama hal nya dengan pinjol ilegal harus diberantas bukan diawasi. Jadi sangat keliru kalau orang mengatakan pinjol ilegal itu harus diawasi.
“Bagaimana diawasi, orang alamatnya saja kita tidak tahu, bentuk usahanya enggak tahu, nomor teleponnya ganti-ganti, yang ada itu adalah diberantas bukan diawasi,” katanya.
Berikut wawancara lengkap Podcast Bincang si IPOL bersama Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK yang juga menjabat Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) terkait pinjol.
Kenapa marak pinjol ini?
Ini memang kita lihat dari dua sisi, sisi pelaku dan masyarakat. Dari sisi pelaku memang dengan kemudahan teknologi informasi saat ini sangat mudah membuat situs atau web dan aplikasi. Apalagi masyarakat kan punya smartphone yang bisa menerima penawaran-penawaran itu. Ini memang membuat marak itu disamping tentunya ada juga banyak yang berada di luar negeri servernya.
Dari sisi masyarakat kita juga harus fair, karena selama ini yang kita salahkan pinjol. Masyarakat juga yang akses ke pinjol ilegal mau tutup lobang, salah kalau menurut kami sih.
Pertama ada kelompok masyarakat yang tidak memahami mengenai pinjol ini. Pada saat ada (penawaran) langsung akses data. Itu bisa kita edukasi dengan baik dan mudah.
Kelompok kedua ada yang memang kesulitan ekonomi. Yang ini memang responnya sangat berbeda, tentunya dia tidak mau harus akses ke pinjol ilegal. Karena sudah tidak bisa pinjam ke mana-mana. Jadi kalau disalahkan pinjolnya salah. Oke kita berantas, tapi masyarakatnya juga, karena memang perlu kita didik seperti itu.
Apa yang dilakukan satgas selama ini?
Tadinya ada 11 kementerian/lembaga di sana yang saat ini menjadi 12. Ada OJK, Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, Kemenkoinfo, Kemendagri, Kemenkopolhukam, Kemenag, Kemendikbud, Kejaksaan, Polri, kementerian investasi, PPATK.
Satgas juga melakukan tindakan preventif dan represif. Pertama yang dilakukan adalah mengedukasi masyarakat. Jadi kami secara berkelanjutan melakukan edukasi kepada masyarakat melalui berbagai channel, media, sosialisasi, kuliah umum, narasumber di webinar. Ini banyak kami lakukan untuk mengedukasi masyarakat. Sehingga diharapkan semakin sedikit peluang pinjol ilegal ini untuk menipu masyarakat.
Kemudian kami juga melakukan respon terhadap pengaduan masyarakat agar masyarakat paham mengenai pinjol-pinjol yang ilegal ini dan kami juga melakukan blasting SMS mengenai waspada pinjol ilegal melalui tujuh operator seluler yang kamu perkirakan menjangkau sampai 28 juta nomor HP.
Secara represif kami juga mengumumkan kepada masyarakat hentikan kegiatannya (pinjol ilegal) agar masyarakat tidak ikut. Kami juga melakukan pemblokiran situs atau aplikasi. Kami menyampaikan informasi kepada kepolisian apabila ada dugaan tindak pidana di sana dilakukan proses hukum.
Kalau kita lihat, pinjol ilegal ini sangat berbahaya. Ciri-ciri nya memang tidak terdaftar di OJK. Jadi mereka itu memang sengaja menipu karena tidak mengurus izin di OJK. Jadi tidak merupakan jasa keuangan sebagaimana diatur dalam peraturan OJK No 77 tahun 2016.
Kemudian tidak ada pengurusnya, alamat kantor juga tidak jelas dan pemberian pinjamannya sangat mudah, cukup dengan foto copy KTP dan foto diri. Tapi ini jebakan, bunganya tinggi. Contoh kita pinjam Rp1 juta, tapi ditransfer 600 ribu dan bunganya bisa empat persen per hari serta jangka waktunya singkat.
Ini sangat berbahaya dan yang paling tidak masuk akal adalah pinjol ilegal selalu minta /mengizinkan semua data kontak di HP bisa diakses. Nah sumber malapetakanya di sini.
Masyarakat kita tidak waspada terhadap data perlindungan pribadinya dengan meberikan akses-akses itu. Bayangkan semua data kita di HP disedot. Inilah kekuatan mereka untuk melalukan teror dan intimidasi kepada masyarakat yang tidak bayar. (Bambang/tim)