Sang ayah, Wong Sioe Tjhiong, punya toko di Porong. Mampu. Toko aneka kebutuhan orang desa. Mulai bahan bangunan sampai obat flu.
Lulus SMA, Widodo masuk fakultas teknik Universitas Katolik Satya Wacana, Salatiga. Ia ambil jurusan elektro.
Begitu lulus, Widodo bekerja di bagian teknik distributor TV di Surabaya. Yakni distributor TV khusus merek Jerman. Yang waktu itu masih belum disingkirkan TV-TV dari Jepang. Orang seumur saya pun sudah lupa kalau pernah laris TV merek ITT atau Nordmende, atau Blaupunkt.
Dari situ Widodo mencoba berbisnis: membuat lampu emergency. Widodo yang menciptakan, mendesain, dan memproduksi. Waktu itu, tahun 1980-an lampu darurat laris. Listrik PLN sering sekali mati. Satu rumah bisa perlu tiga lampu darurat. Bahkan lima.
Teman kuliah Widodo yang memasarkan lampu itu. Laris.
Senang?
Sedih.
Klasik: ditipu. Hasil penjualannya dibawa lari.
Widodo tidak mau lagi mengembangkan lampu darurat itu.
Widodo punya kakak. Sang kakak teman sekolah Ferry Tandiono –sama-sama di SMA Petra Surabaya. Ferry adalah ayah Richard Tandiono. Ia pemilik pabrik baterai Nipress, yang didirikan bapaknya.