IPOL.ID – Istri Gubernur DKI Anies Baswedan, Fery Farhati mengungkap cikal bakal digelarnya kegiatan Ibu Ibukota Awards yang sudah berjalan selama dua tahun belakangan. Kegiatan ini, awalnya muncul berkat inisiasi dirinya semenjak menjadi seorang isteri gubernur.
Dia menceritakan, selama menjadi seorang istri kepala daerah dirinya kerap berkunjung ke sudut-sudut perkotaan dan bertemu banyak perempuan. Khususnya para perempuan yang memiliki peran sebagai roda penggerak di dalam keluarga dan lingkungan.
“Awalnya, inisiasi Ibu Ibukota Awards muncul ketika saya mendapat peran sebagai istri gubernur. Saat itu saya banyak berkunjung ke sudut-sudut kota Jakarta, dan di sana saya banyak bertemu perempuan-perempuan yang memiliki peran sebagai roda penggerak di dalam keluarga dan juga di lingkungan sekitarnya,” ungkap Fery Farhati saat berbincang melalui podcast “Si Ipol”, Rabu (6/10) pagi.
Berbeda dengan saat sebelum menjadi isteri orang terpenting di ibu kota. Fery hanya menjalankan rutinitas layaknya warga biasa, sehingga tak pernah melihat sosok-sosok penggerak yang mempunyai dampak luar biasa untuk lingkungan.
“Sebelum saya menjadi istri gubernur, hanya memegang peran-peran ini sebagai warga. Kehidupan saya itu ya rumah, sekolah anak-anak, kantor dan tempat hiburan,” cerita Fery Farhati.
Namun semenjak menjadi istri Gubernur, dia mengaku melihat banyak sosok penggerak yang berada di sudut-sudut Ibu Kota. Sosok penggerak itu tak lain adalah ‘kaum ibu’. Tak hanya memikirkan lingkungan yang jauh lebih luas, sosok penggerak ini juga dinilainya sangat menginspirasi.
“Nah mereka (sosok penggerak) ini melakukan hal-hal yang kecil, sederhana tapi berkelanjutan dan tujuannya juga lebih besar, yaitu menciptakan lingkungan yang harmonis dan ideal bagi anggota keluarga dan masyarakat untuk berkarya,” katanya.
Oleh karena itu, Fery Farhati yang awalnya tidak mengetahui sosok penggerak ini lantaran sebelumnya hanya sebagai warga biasa, kini hatinya tergerak untuk mengangkat cerita sosok ibu-ibu ini melalui sebuah wadah. Wadah inilah yang kemudian dinamakan ‘Ibu Ibukota Awards’.
“Ini harus muncul (Ibu Ibukota Awards), orang-orang harus tahu Jakarta ini ditopang oleh aktivitas ibu-ibu ini. Bisa dibayangkan jika kemudian mereka berhenti, atau memutuskan berhenti untuk bergerak, tentu akan terjadi dampak yang luar biasa bagi ibu kota,” ucapnya.
Walaupun hanya mengatasi permasalahan di lingkup kecil dan sederhana, Fery menilai, ibu-ibu penggerak ini punya dampak yang luar bisa untuk Kota Jakarta.
Seperti halnya keberadaan sampah di lingkungan DKI. Tanpa ibu-ibu penggerak, keberadaan sampah di Ibu Kota juga akan sulit ditangani. “Misalnya sampah saja, ditangani di berbagai sudut Jakarta oleh ibu ibu ini ketika mereka berhenti bergerak, sampah enggak ada yang megang,” tutur Fery Farhati.
Oleh karena itu, dia menggagas Ibu Ibukota Awards sebagai wadah bagi perempuan-perempuan yang berperan sebagai roda penggerak keluarga dan lingkungan yang selama ini bekerja keras untuk Kota Jakarta.
Ibu Ibukota Awards ini sudah berjalan sejak 2019. Kegiatan ini digelar setiap tahun untuk mencapai tiga tujuan.
Pertama, jelas dia, untuk memberikan apresiasi setiap gerakan baik oleh perempuan penggerak yang selama ini bekerja untuk kebahagiaan warga Jakarta. “Kami ingin mengapresiasi setiap gerakan baik oleh para perempuan penggerak di Jakarta yang selama ini bekerja dalam sunyi untuk memastikan kebahagiaan keluarga di Jakarta,” imbuhnya.
Kedua, lanjut dia, untuk mendorong masyarakat khususnya para ibu untuk mau bergerak melakukan aksi terbaik di wilayahnya masing-masing.
“Jadi diharapkan semakin banyak masyarakat khususnya ibu-ibu yang mengetahui kegiatan ini kemudian bergerak untuk melakukan aksi terbaik, menginspirasi, sehingga pergerakan di Jakarta itu gaungnya semakin kuat. Karena Jakarta ini kan kota kolaborasi bahwa permasalah yang ada di Jakarta harus ditangani bersama oleh warganya juga,” tuturnya.
Ketiga, menampilkan gambaran Jakarta sebagai kota yang harmonis dan humanis. “Kami ingin bahwa selama ini Jakarta yang diasosiasikan dengan kemacetan, banjir, individualistis, kota yang keras, tempat orang bekerja keras, tapi di sisi lain ada sudut Jakarta yang para perempuan ini mau melakukan aksi terbaik untuk lingkungannya. Kalau ceritanya terus berputar dan semakin banyak yang tahu bahwa ada yang bergerak, maka Jakarta itu dilihat sebagai kota yang humanis,” pungkas Fery Farhati. (ydh)