IPOL.ID – Penetapan Bupati Musi Banyuasin, Dodi Reza Alex, sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mendapatkan sorotan. Sebab, sebelum ditetapkan tersangka dia sempat terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh lembaga antirasuah, Jumat (15/10).
OTT tersebut terkait dugaan penerimaan suap pengadaan sejumlah proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Musi Banyuasin. Dodi juga merupakan anak dari mantan Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), Alex Noerdin. Nama terakhir kini berstatus tersangka dugaan korupsi di Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumsel.
Di Kejagung, Alex ditetapkan tersangka dugaan korupsi pembelian gas bumi oleh Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PD PDE) Sumsel tahun 2010-2019. Sedangkan di Kejati Sumsel, Alex dijadikan tersangka dugaan korupsi penggunaan dana hibah pembangunan Masjid Raya Sriwijaya di Palembang.
Penetapan kedua tersangka tersebut dinilai sebagai bukti setiap kepala daerah berpotensi korupsi. “Tanpa dinasti politik saja, setiap kepala daerah berpotensi melakukan tindak pidana korupsi,” ujar Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman melalui sambungan telepon, Senin (18/10).
Boyamin menuturkan, setidaknya ada tiga alasan dinasti politik kepala daerah melakukan tindak pidana korupsi. Di antaranya, karena biaya politik yang mahal.
“Dengan proses politik yang biayanya mahal seperti sekarang ini, tanpa dinasti politik saja kepala daerah berpotensi untuk korupsi, karena ya untuk kembali modal,” ungkapnya.
Selanjutnya, kepala daerah melakukan korupsi karena merasa status sosialnya berbeda. “Apapun ketika menjadi kepala daerah ini merasa menjadi manusia yang berbeda statusnya sehingga sehingga dia harus menjadi orang yang juga kaya raya. Karena merasa dirinya orang hebat, mampu dipilih dan kemudian menjadi seperti berwibawa. Maka dia harus tidak boleh miskin dan tidak boleh biasa-biasa saja. Maka dia harus kaya raya. Kaya rayanya dari mana, berarti dari cara korupsi,” bebernya.
Alasan terakhir kepala daerah melakukan korupsi adalah karena sikap yang tamak. “Karena ada beberapa yang sudah kaya tetap korupsi atau yang sudah cukup tetap korupsi. Artinya karena sikap tamak itu kemudian menjadikan seorang kepala daerah menjadi korupsi,” pungkas Boyamin. (ydh)