IPOL.ID – Menjamurnya terminal bayangan di Wilayah DKI Jakarta mengindikasikan lemahnya manajemen pengendalian dan pengawasan oleh stakeholders yang bertanggung jawab di bidangnya.
Terminal bayangan yang di Wilayah DKI Jakarta merata ada di 5 wilayah DKI. Namun demikian, yang paling menyolok di Wilayah Jakarta Barat.
Dimintai komentarnya terkait hal tersebut, Pemerhati Masalah Transportasi dan Hukum, Budiyanto mengatakan, jika ditinjau dari aspek lalu lintas sudah dipastikan akan menimbulkan permasalahan lalu lintas yaitu kemacetan.
“Karena terminal bayangan tidak memiliki lahan parkir yang memadai yang pada akhirnya pengelola menempatkan/parkir kendaraan berada dipinggir jalan di pinggir jalan,” kata Budiyanto pada ipol.id, Sabtu (11/12).
Menurutnya, terminal bayangan sudah dipastikan tidak akan mampu memberikan pelayanan jasa sesuai tingkat pelayanan minimal yang berupa fasilitas pendukung berupa ruang tunggu, toilet, penempatan barang, tempat parkir, tempat informasi, dan lain sebagainya.
“Gambaran ini menunjukan bahwa terminal bayangan dari aspek keamanan, kenyaman dan kepastian keberangkatan tidak dapat menjamin,” tutur dia.
Kemudian lanjutnya, problem lainnya, harga ticket dipastikan akan lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan ticket yang berada di terminal resmi.
Selain itu, dari aspek regulasi bahwa sebutan terminal bayangan juga tidak ada, sehingga terminal bayangan dianggap tidak resmi dan melanggar aturan.
“Karena tidak resmi berarti tidak memberikan kontribusi dalam bentuk restribusi sebagai salah satu sumber PAD,” ungkap Budiyanto.
Kemudian regulasi yang mengatur tentang terminal sudah cukup memadai, misalkan Undang-Undang No. 22 tahun 2008 tentang LLAJ, Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2013 tentang jaringan lalu lintas dan angkutan umum, Peraturan Menteri No. 132 tahun 2015 tentang penyelenggaraan terminal penumpang angkutan jalan, dan peraturan lainnya.
Lalu kenapa terminal bayangan dapat terjadi pada titik-titik ruas penggal tertentu di lima wilayah DKI Jakarta? diduga ada alasan-alasan pragmatis untuk mendapatkan penumpang dengan cepat dan menghindari restribusi, tanpa memperhatikan aspek- aspek lainnya.
Timbulnya kemacetan dan ketidak nyamanan. Menurutnya, fenomena munculnya terminal bayangan sebenarnya sudah cukup lama namun kelihatannya ada kesan pembiaran yang secara otomatis memperlihatkan lemahnya manajemen pengendalian dan pengawasan.
Problem timbulnya terminal bayangan, sambungnya, penyebabnya sebenarnya mudah dideteksi. Karena adanya kepentingan antara agen penjualan tiket dengan perusahaan angkutan umum.
“Pengendalian dan pengawasan cukup mudah sebenarnya dari mulai menertibkan perizinan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintasnya. Pembiaran terhadap pelanggaran tersebut sudah dipastikan akan mereduksi fungsi terminal dan akan menggangu kamtibmas secara umum dan kamseltibcar lantas pada khususnya,” tukasnya.
“Ingat bahwa dalam Undang-Undang lalu lintas No. 22 tahun 2009 tentang LLAJ dan aturan turunannya, cukup memadai Pasal-pasal yang mengatur tentang tata cara berlalu lintas bagi pengemudi angkutan umum dan ketentuan Pidananya (Tata cara berlalu lintas Pasal 124 sd Pasal 126 dan ketentuan Pidananya diatur dari Pasal 300 sd Pasal 309),” ungkapnya.
Budiyanto menegaskan, perlu ada penertiban dan penegakan hukum secara tegas dan konsisten agar tidak menimbulkan gangguan kamtibmas secara umum serta demi tegaknya peraturan.
“Karena pembiaran terhadap munculnya terminal bayangan akan menimbulkan permasalahan baru dari beberapa aspek,” tutupnya. (ibl)