IPOL.ID – Peneliti Paramadina Institute of Education Reforms M. Abduhzen mengatakan bahwa terdapat kekeliruan cara memandang proses pendidikan karakter di sekolah.
“Proses pendidikan karakter memang betul untuk membentuk seutuhnya karakter agar menjadi manusia berbudaya. Namun sesungguhnya proses pendidikan yang benar adalah include di dalamnya pembentukan karakter. Tidak dipisah antara pendidikan seni budaya dan pendidikan karakter,” ujar dia dalam keterangannya, Kamis (16/12).
Abduhzen mengungkapkan bahwa selama ini umum menganggap pendidikan karakter hanya berisi pelajaran agama, budi pekerti, PPKN, tapi lupa bahwa karakter sangat dipengaruhi oleh pelajaran matematika, dan ilmu-ilmu scientific seperi biologi, fisika, kimia.
“Basis pembentukan karakter adalah ketika orang mampu berpikir logis dan rasional karena terbiasa berpikir oleh ilmu-ilmu scientist. Karena itulah dulu ada peribahasa bijak ‘Pikir itu pelita hati, air beriak tanda tak dalam,” sambung dia.
Tidak heran lanjut Abduhzen, dalam rangking PISA anak-anak didik di Indonesia tidak mampu beranjak dari posisi 6 terbawah dunia. “Karena memang tidak dibiasakan berpikir (ilmiah), karenanya mereka punya kemampuan science yang lemah. Ketika diberikan soal-soal science maka kemampuan berpikir atau bernalar jeblok karena tidak terlatih berpikir,“ tuturnya.
Dirunut dari masa lalu, pengaruh sistem pendidikan era kolonial sedikit banyak berpengaruh. Pribumi tidak dipacu menjadi cerdas karena proses berpikir, tetapi hanya untuk lebih patuh dan setia pada nilai-nilai inlandernya.
“Dan nilai inlander itu yang terus berkembang hingga hari ini. Bangsa kita menjadi bangsa yang tidak punya kepribadian kuat dan malas berpikir,” lanjutnya.
Abduhzen juga menyampaikan evaluasinya atas problem pendidikan nasional, Yang pertama menurutnya, problem pendidikan nasional telah melampaui kapasitas departemental atau diserahkan hanya pada level kementerian, tetapi harus ditangani terpadu sampai pada tingkat negara dan dipimpin langsung oleh kepala negara.
“Kedua, siswa didik kita harus dibiasakan mau berpikir dengan proses menggunakan nalar. Kemampuan bernalar sangat dibutuhkan untuk membentuk kepribadian yang berkarakter unggul,” jelas dia.
Ketiga, proses belajar mengajar harus menggunakan proses dialogis dengan penggunaan bahasa yang benar, sebagai media pencerdasan. Karena itu membenahi bahasa berarti sedang membenahi cara berpikir.
Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina Fatchiah E. Kertamuda menyatakan bahwa pendidikan merupakan investasi bernilai strategis dan merupakan penanaman modal sumber daya manusia nasional.
“Perjalanan pendidikan kita masih terus mencari pola dan tak tahu sampai kapan ujungnya. Terlebih dengan munculnya pandemi covid-19 yang membuat para tenaga pengajar harus menyesuaikan sistem pengajaran yang tidak mudah,” ujarnya.
Setiap kebudayaan lanjut Fatchiah, memiliki local wisdom yang bisa dikembangkan menjadi sistem perilaku.
“Bagaimana setiap orang bisa tumbuh pertama dari lingkungan keluarga yang kondusif. Namun merubah semuanya tentu tidak mudah dan butuh waktu. akhlak mulia tidak mungkin bisa dibentuk dalam satu dua hari. Tetapi butuh proses panjang,” pungkasnya. (rob)