IPOL.ID – Kepribadian nasional memiliki tiga pilar yakni, politik nasional menolak campur tangan asing, ekonomi menolak eksploitasi asing terhadap SDA dan SDM nasional, dan bidang kebudayaan harus berkepribadian unggul dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Hal ini disampaikan Guru Besar Falsafah dan Agama Universitas Paramadina
Prof. Abdul Hadi WM pada acara bertajuk “Diskusi Akhir Tahun: Bidang Pendidikan dan Kebudayaan” dalam Forum Ekonomi Politik Didik J. Rachbini dalam siaran tertulisnya, Kamis (16/12)
Abdul Hadi menyatakan bahwa pendidikan nasional bisa bergairah kembali jika pendidikan bahasa kembali diperhatikan.
“Bahasa hanya dipakai sebagai sarana komunikasi tetapi tidak digunakan untuk berpikir. Padahal semakin canggih berbahasa maka akan semakin mendukung kecerdasan. Bahasa Jerman telah lama menjadi pedoman Bahasa risalah-risalah ilmiah, sastra dan filosofis bernilai amat tinggi,” katanya.
Menurut Abdul Hadi karena terlalu lama dijajah kolonialisme, kepribadian manusia Indonesia menjadi hancur. “Sebelum abad 20 di Jawa digunakan Bahasa Jawa dan Melayu Arab, namun Belanda menghapus itu semua dan menggunakan bahasa latin, sehingga putus dari akar budaya,” ujarnya.
Sebagai perbandingan lanjutnya, kepribadian bangsa yang tetap dipertahankan dipraktikkan oleh bangsa-bangsa penganut konfusianisme Jepang, Korea, China, dimana konfusianisme diajarkan sejak dari SD. Begitu pula dengan etos dan seni budaya yang merupakan aspek penting dalam menanggapi aneka corak kehidupan.
Abdul Hadi juga menyoroti terjadinya krisis moral parah dan rendahan, dengan terjadinya berbagai peristiwa korupsi dan manipulasi yang menghancurkan kehidupan sosial politik nasional.
“Dibutuhkan kembali kebangkitan akan nilai moral yang berstandar tinggi untuk membenahi iklim kehidupan di berbagai sektor,” sambung dia.
Abdul Hadi juga menyinggung perlunya diperkuat dan dipahami ihwal kearifan lokal. Menurutnya kearifan lokal tertera pada kitab-kitab keagamaan, filsafat, sastra yang sudah jarang dipelajari.
“Tak heran, generasi muda Jawa tak lagi kenal Ronggowarsito, Mahabarata, begitu juga anak suku lain, kecuali Bali meski hidup dalam lakon tetapi kurang mengenal. Ada juga banyak arsitektur-arsitektur lokal. Karya-karya sastra lama perlu diperkenalkan kembali seperti Tajussalatin, Bustanussalatin, Sastra Jawa, Sunda dan lainnya,” terang Abdul Hadi.
Ia juga mengkritik fenomena bahwa kebudayaan dan karya-karya sastra unggul lama tak juga dipelajari, sedangkan pelajaran dari Barat juga tidak tuntas dikuasai.
“Meski anak-anak kita banyak yang menjuarai lomba internasional matematika dan science, tetapi tidak ada yang kemudian menjadi ilmuwan kelas dunia hingga meraih penghargaan Nobel. Sementara tetangga Asia lain Pakistan punya M. Yunus dan Mahbub Ul Haq sebagai para peraih hadiah Nobel,” pungkas dia. (rob)