IPOL.ID – Munculnya wacana menempatkan Polri dibawah Kementeridan dengan membentuk Dewan Keamanan Nasional dan Kementerian Keamanan Dalam Negeri untuk menaungi institusi Polri mendapat reaksi dari sejumlah kalangan.
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso berpendapat wacana itu akan sulit diwujudkan dan akan ada proses panjang perubahan atau amandemen konstitusi, pencabutan ketetapan MPR dan revisi UU Polri.
“Perubahan itu akan menghadapi proses politik rumit dan penuh dengan bargaining-bargaining politik dengan partai partai besar dan pimpinan partai untuk dapat mendorong usulan tersebut Gubernur Lemhannas tersebut,’ ujar Sugeng dalam keterangannya yang diterima ipol.id, Rabu (5/1).
Menurut Sugeng, kedudukan Polri berdasarkan konstitusi atau UUD 1945 khususnya Pasal 30 ayat 4 menyebut bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Dalam TAP MPR No. VII/MPR/2000 juga secara jelas disebut bahwa peran TNI dan Polri berada di bawah Presiden. Sedang Pasal 8 UU NO. 2 Tahun 2002 ditetapkan dengan jelas bahwa institusi Polri berada dibawah Presiden sebagai Kepala Negara.
“Usulan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Pur) Agus Widjoyo menempatkan Polri di bawah Kementerian Keamanan Dalam Negeri, dapat dianalogikan seperti hembusan angin pada bukit karang di laut. Usulan ini akan membentur bukit karang yang kokoh terkait regulasi dan praktek politik yang rumit,” ujar Sugeng.
Dia menilai justru usulan Gubernur Lemhanas ini hanyalah sebagai suatu momentum mengingatkan masyarakat, politisi bahkan Presiden tentang isu “dwifungsi polri” yang makin menguat pasca reformasi.Terutama peran sospol yang sangat nyata dan menjadi sorotan kelompok dwifungsi ABRI yang dulu ada dan sekarang sudah selesai tersebut.
“Istilah “dwifungsi Polri” sendiri memang tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi nyata teraplikasi berdasarkan pasal 28 UU 2 Tahun 2002 tentang Polri. Oleh karenanya,hal ini harus menjadi satu pemikiran serius dari pimpinan Polri,” jelas Sugeng.
Dia menambahkan, wujud dari “dwifungsi Polri” itu muncul pada penempatan polisi-polisi aktif dengan penugasan oleh kapolri pada lembaga-lembaga sipil, kementerian dan BUMN.
Disamping itu, adanya potensi tahun politik dimana menurut kemendagri sedikitnya ada 272 kepala daerah akan habis masa jabatannya pada 2022 dan 2023 harus diisi oleh pelaksana tugas (Plt). Sementara pelaksanaan pilkadanya akan berlangsung serentak pada 2024 dan membutuhkan keamanan dalam negeri.
“Dalam penunjukan pelaksana tugas, pemerintah selalu mempertimbangkan orang yang mampu untuk menjaga keamanan hingga selesainya pilkada. Sektor keamanan dalam negeri menjadi prioritas utama dan adalah tupoksi Polri,” jelas dia.
Munculnya preseden dwifungsi polri pernah terjadi pada masa Pilkada Jawa barat 2018 lalu. Kala itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengangkat Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional Komjen Pol. Mochamad Iriawan atau Iwan Bule sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur Jabar. Meski banyak kalangan yang memprotes, tapi pemerintah tetap melantik karena jaminan bisa menjaga keamanan wilayah.
Penunjukkan Komjen Pol. Mochamad Iriawan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 106/P Tahun 2018 tentang Pengesahan Pemberhentian Dengan Hormat Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat Masa Jabatan Tahun 2013-2018.
“Memperhatikan hal ini, pimpinan polri harus cermat, hati-hati dan mawas diri terkait isu “dwifungsi Polri” agar tidak terjadi kecemburuan dari institusi lain,” ujar Sugeng.
Sugeng pun meminta kepada Presiden Jokowi memberikan atensi khusus terhadap usulan Gubernur Lemhanas tersebut agar tidak terjadi sikap kebablasan dari institusi Polri yang berpotensi munculnya riak riak politik dari kelompok yang merasa tertinggal. (rob)