IPOL.ID – Laskar Anti Korupsi (LAKI) Provinsi Kalimantan Timur merasa heran dengan tidak dicabutnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Batuan Energi Prima (BEP) oleh pemerintah. Padahal, PT BEP diguga telah melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan izin OP untuk melakukan tindak pidana dan pembobolan perbankan.
Lantaran kecewa, LAKI memilih langkah untuk mengadu kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan meminta IUP PT BEP dicabut.
“Alih-alih IUP-nya dicabut, Dirjen Minerba malah diberi persetujuan RKAB Tahun 2022. Padahal pemegang saham 95 persen PT BEP seorang terpidana dan masih mendekam di tahanan menjalani hukuman selama delapan tahun penjara. Sedangkan pelaksana perseroannya sehari-hari saat ini dijabat oleh ER yang diduga tersangkut kasus pidana,” kata Ketua LAKI Rohman Wahyudi dalam siaran persnya, Senin (10/1).
Dia berharap Presiden Jokowi dapat memerintahkan Irjen Kementerian ESDM bersama unsur Kejaksaan Agung melakukan pemeriksaan terhadap oknum pejabat di lingkungan jajaran Ditjen Minerba yang melindungi perusahaan tambang bermasalah.
Rohman menegaskan tindakan melindungi perusahaan tambang bermasalah selain bentuk penghianatan terhadap negara juga merupakan bentuk penipuan terhadap Presiden yang telah dengan amat susah payah memperbaiki pemerintahan.
“Kami juga memiliki dua temuan lain, termasuk yang merugikan negara sebesar Rp120 miliar akibat perbuatan melawan hukum oknum pejabat Ditjen Minerba yang meloloskan penjualan dan pengapalan ilegal. LSM LAKI siap membuktikan dan membantu Presiden Jokowi dengan memberikan datanya,” tegasnya.
Rohman juga menduga ER tersangkut tiga kasus dugaan pidana dan diduga menjadi aktor intelektual mafia pailit PT BEP.
Diketahui, LAKI meminta Kementerian ESDM mencabut IUP OP PT BEP. Terdapat lima alasan hukum yang dijadikan pertimbangan pencabutan IUP tersebut diantaranya pengangkatan ER yang diduga bermasalah.
Menanggapi hal itu, Direktur PT BEP Erwin Rahardjo mengatakan bahwa proses pailit perusahaannya sudah sesuai dengan prosedur dan koridor hukum yang berlaku, dengan melewati tahapan sebagaimana yang telah ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
“Jika dikatakan adanya sumpah atau keterangan palsu, maka kami rasa hal tersebut hanya upaya pihak lain yang tidak puas dengan keputusan pengadilan tersebut, namun tidak mau mengikuti mekanisme yang berlaku,” katanya. (ydh)