IPOL.ID – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terus melakukan edukasi tentang pentingnya vaksinasi terhadap anak-anak dan terus diupayakan. Terlebih anak-anak yang tidak memiliki NIK (Nomor Induk Penduduk), baik pada anak usia 6-11 Tahun dan diatas 12-17 Tahun.
Tak hanya itu, jajaran KPAI juga melakukan advokasi vaksinasi COVID-19 terkait klaster Kesehatan dan Kesejahteraan pada anak.
“KPAI memperjuangkan vaksinasi bagi setiap anak tanpa kecuali, termasuk anak-anak yang tidak memiliki NIK (Nomor Induk Penduduk),” terang Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto saat gelar laporan akhir KPAI tahun 2021 pada wartawan, Senin (24/1).
Menurutnya, anak-anak yang berada di LKSA/PSAA, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial dan kelompok anak rentan lainnya dapat tetap mendapatkan vaksin COVID-19 sekaligus menjadi bagian advokasi pemenuhan hak sipil anak.
KPAI juga melakukan survei terkait “Persepsi Peserta Didik Terkait Vaksinasi Anak Usia 12-17 Tahun”, ditemukan bahwa masih ada 9 persen anak yang ragu-ragu dan 3 persen responden menolak vaksin.
Selain itu, sambungnya, KPAI mendorong perluasan capaian vaksin untuk semua anak khususnya usia 6-12 tahun dan menuntaskan dosis kedua untuk anak usia 12-17 tahun.
“KPAI mendorong agar pemerintah tetap meningkatkan kualitas pada layanan kesehatan dasar anak secara optimal termasuk imunisasi dasar, pencegahan stunting, serta layanan ibu hamil dan melahirkan,” tuturnya.
Edukasi 5M dan 1V (vaksin) juga diberikan, seperti mitigasi pencegahan, mendampingi pelaksanaan 3T (Tracing, Tracking, Testing), serta memperkuat strategi kebijakan pentahelix pada anak.
“Salah satu dampak sosial dari Covid-19 adalah anak yang kedua orang tuanya meninggal dunia bersamaan”.
KPAI mendorong pengumpulan data anak secara tersentral dan terverifikasi yang saat ini dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kementerian Dalam Negeri.
Prioritas proses intervensi bagi anak yatim piatu akibat COVID-19 adalah perencanaan pengasuhan anak, penempatan pengasuhan dengan prioritas kepada keluarga besar dan pengasuhan berbasis keluarga, serta intervensi pemenuhan hak dasarnya.
Terkait dengan perkawinan anak, lanjutnya, KPAI mendorong upaya massif penurunan perkawinan anak yang saat ini mencapai 10,35 persen. “Kejadian perkawinan anak tidak hanya mereka yang dimohonkan dispensasi kawin namun juga perkawinan yang tidak tercatat. Pemenuhan hak dasar anak seperti pendidikan, edukasi kepada orang tua menjadi kunci pencegahan perkawinan usia anak,” tambahnya.
Menurutnya, hal permohonan dispensasi kawin, perlu mempertimbangkan alasan mendesak dan bukti pendukung perlu dilandaskan pada penafsiran maslahah dan mafsadah yang ekspansif dan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak, serta faktor internal dan eksternal anak dimohonkan dispensasi.
Selain itu, usia minimal kebolehan dimohonkan dispensasi juga penting dirumuskan. “Disini KPAI mendorong segera disahkannya Rancangan Peraturan Pemerintah Dispensasi Kawin sebagai upaya pengetatan pelaksanaan dispensasi kawin sebagai bagian dari pencegahan perkawinan anak secara optimal,” tukas dia. (ibl)