IPOL.ID – Pemandangan kumuh terpampang di lahan milik Pertamina yang kini dikenal Pancoran Buntu II di Jalan Raya Pasar Minggu, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (17/2). Tumpukan barang bekas seperti besi, plastik hingga perabotan rumah tangga mewarnai lokasi tersebut.
Di lahan seluas 4,4 hektar itu beraneka macam barang bekas hingga sampah memenuhi seluruh area lahan. Sepanjang mata memandang, lahan yang semula berdiri ratusan rumah semi permanen itu kini sudah kosong.
Gubuk-gubuk berbahan seng dan triplek milik warga yang berprofesi sebagai pemulung itu sudah rata dengan tanah. Kini tersisa hanya material bekas pembongkaran yang dilakukan warga pada awal tahun 2021 lalu.
Tercatat, ada sebanyak 23 rumah semi permanen yang kini dihuni puluhan Kepala Keluarga (KK). Hanya bersekat seng, mereka tidur berdampingan dengan tumpukan barang bekas.
Mirisnya, barang bekas yang ditumpuk sembarang itu tidak ditutup, sehingga kini menjadi wadah tergenangnya air yang berpotensi sebagai sarang berkembang biaknya nyamuk demam berdarah.
Mereka juga terlihat mengabaikan kebersihan lingkungan, padahal terlihat anak-anak tinggal bersama orangtuanya di sana.
Namun sayang, tak ada satu pun warga yang mau dimintai keterangan, baik soal kesehatan hingga permasalahan tanah yang diklaim milik negara itu.
Kondisi tersebut dikeluhkan Niman, 43, warga RT 06/02, Kelurahan Pancoran, Kecamatan Pancoran. Dia katakan, warga yang tinggal persis di sebelah lahan Pancoran Buntu II itu mengeluhkan soal kumuhnya kawasan yang dinilainya berpotensi menimbulkan penyakit bagi warga setempat.
Belum lagi bau hingga asap pembakaran barang bekas yang sering kali tertiup angin ke arah permukiman warga.
Barang bekas yang diduganya berupa kabel untuk diambil tembaganya itu diungkapkan Niman dapat menyebabkan infeksi pernafasan bagi warga.
“Kalau lagi bakar-bakaran (barang bekas) itu asapnya sampai ke sini (permukiman warga), itu ganggu banget-bisa bikin penyakit juga,” ujar Niman.
Tak hanya itu, lantaran kawasan dikuasai warga yang disebutnya ilegal itu, saluran penghubung (phb) yang berada di dalam kawasan tidak dapat dikuras.
Akibatnya saluran jadi tidak lancar dan menggenang apabila musim kemarau.
“Kalau air menggenang itu pasti jadi sarang nyamuk, nah orang-orang itu mana mau bersih-bersih, lingkungannya aja begitu, bisa lihat sendiri,” tukas Niman seraya menunjuk kumuhnya Pancoran Buntu II.
“Kalau bisa tolong Pemprov DKI untuk tertibkan saja, bikin resah. Apalagi sampe rusuh kayak waktu Maret tahun lalu (2021),” tandas Niman.
Terpisah, Tim Recovery Aset Pancoran Buntu II, Aditya Karma mengatakan, pihaknya tengah berupaya memulihkan aset milik Pertamina sejak Juli 2020. Sosialisasi hingga solusi telah disampaikan kepada warga yang menempati lahan sejak lebih dari 30 tahun lalu itu.
Namun, sebagian warga masih bersikeras menempati lahan, walau diketahui tak memiliki bukti kepemilikan lahan.
“Total warga di sana itu ada ratusan, mereka tinggal di 104 petak rumah semi permanen. Alhamdulillah, dari sosialisasi yang kami lakukan, 81 dari 104 pintu sudah pindah, mereka membongkar bangunannya sendiri dan kami berikan uang pindah,” kata Aditya dihubungi wartawan pada Kamis (17/2).
“Jadi yang masih tersisa sekarang ini ada 23 pintu, mereka menuntut ganti rugi,” tambahnya.
Lahan itu tercatat sebagai aset penyertaan modal Pemerintah Republik Indonesia kepada PT Pertamina (Pesero) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.23/KMK.06/2008 dengan nomor harmoni aset 100001418.
“Sebenarnya uang pindah juga bukan kewajiban kami, tapi panggilan. Tujuannya agar mereka yang meninggalkan Pancoran Buntu II bisa melanjutkan hidup, khususnya buat anak-anak mereka agar dapat kehidupan yang lebih layak,” kata Aditya.
“Hingga kini kami masih perjuangkan tanah negara, tetapi kami tidak ingin bongkar walaupun kuat secara hukum. Kami mau hadirkan solusi, di antaranya pindahkan mereka ke rusun milik Pemprov DKI,” tukas dia. (ibl)