Salah satunya, kontrak dengan Avanti, perusahaan penyewaan satelit sementara pengisi orbit (floater), dilakukan padahal anggarannya tak tersedia dalam DIPA Kemenhan.
“Seharusnya saat itu kita tak perlu melakukan penyewaan tersebut karena di ketentuannya saat satelit lama tak berfungsi masih ada waktu tiga tahun masih bisa digunakan. Tapi dilakukan penyewaan. Di sini kami melihat ada perbuatan melawan hukum,” ungkap Jaksa Agung Muda Pidana Khusus, Febrie Adriansyah beberapa waktu lalu.
Selain itu, tambahnya, satelit yang disewa juga tak dapat berfungsi dan spesifikasinya tak sama. “Jadi indikasi kerugian negara yang kami temukan hasil dari diskusi dengan auditor, uang sesudah keluar adalah Rp500 miliar lebih, dan ada potensi kerugian USD20 juta karena kita sedang digugat,” jelas Febrie.
Atas temuan tersebut, Kejagung pun akhirnya meningkatkan status penyelidikan kasus tersebut ke tahap penyidikan dengan menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) pada Jumat (14/1) lalu. Meski demikian, Sprindik yang diterbitkan oleh penyidik masih bersifat umum alias belum ada tersangkanya. (ydh)