IPOL.ID – Masalah kesehatan mental pada para remaja, utamanya siswa sekolah, belakangan meningkat seiring berbagai faktor pemicunya.
Data Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) per Juli 2020 menyebutkan ada lebih dari 3.200 (13 persen) anak SD hingga SMA di 34 provinsi di Indonesia yang, mengalami gejala-gejala yang mengarah pada gangguan depresi ringan hingga berat.
Sebagian besar di antaranya 93 persen gejala depresi tersebut dialami anak pada rentang usia 14-18, sementara 7 persen lainnya pada usia 10-13 Tahun.
Pandemi menjadi salah satu faktor dominan anak dari kategori rentang usia tersebut mengalami masalah kesehatan mental. Dampak dari masalah kesehatan mental pada siswa sangat beragam mulai dari rasa cemas, mudah marah, stres, depresi bahkan keinginan bunuh diri.
Itulah sebabnya peran guru dan sekolah sangat penting terutama dalam memberikan dukungan psikologis awal (DPA) pada masalah kesehatan mental siswa
Psikologi Pelangi menjelaskan, ada sejumlah langkah yang bisa diberikan kepada siswa yang mengalami kesehatan mental lewat dukungan psikologis awal (DPA). Pertama adalah Look yang meliputi asesmen mengenai keadaan, kebutuhan, reaksi emosional serta resiko yang dihadapi siswa
Tahapan selanjutnya, yaitu Listen dilakukan dengan mendengarkan aktif, hadir untuk siswa, berusaha mengerti dan memahami siswa. Tahap ketiga yakni Link adalah menghubungkan siswa dengan orang atau pihak lain sesuai dengan kebutuhannya. Bila siswa membutuhkan penanganan medis dapat dirujuk ke dokter.
Bila siswa membutuhkan konseling lebih lanjut bisa dirujuk ke konselor atau psikolog. Bila sudah ada gangguan psikologis yang membutuhkan pengobatan lebih lanjut bisa dirujuk ke psikiater.
“Saat Listen hindari terlalu cepat memberikan nasehat, solusi dan saran pada siswa. Berusahalah untuk hadir sepenuhnya, dengarkan secara aktif, terima dan pahami perasaan siswa agar siswa merasa nyaman untuk bercerita, merasa dipahami dan dimengerti,” kata Lita dikutip dari siaran pers, Minggu (6/3/2022),.
Dirinya memberi catatan penting yang tidak boleh dilakukan guru saat DPA yaitu terlalu cepat memberi nasehat, melabel siswa, meremehkan permasalahannya, serta menyalahkan siswa.
Selain itu, Lita mengingatkan para guru untuk juga memperhatikan kesejahteraan dirinya dengan secara rutin melakukan self-care dan manajemen stres agar terhindari dari stress, burn-out, dan compassion fatigue sehingga tetap dapat memberikan dukungan secara optimal.
Sementara itu, founder KGSB, Ruth Andriani mengatakan bahwa dukungan psikologis awal merupakan salah satu bentuk keprihatinan akan kondisi kesehatan mental yang banyak dialami oleh usia anak dan remaja di Indonesia. Melalui Pelatihan PFA ini para guru serta sekolah diharapkan akan memiliki pemahaman dan kemampuan untuk memberikan DPA yang tepat untuk siswa yang mengalami masalah psikologis.
“Sekolah merupakan salah satu lingkungan tempat tumbuh kembang anak dan remaja. Sekolah idealnya merupakan jaring pengaman bagi peserta didiknya. Untuk itu, kami berinisiatif untuk memfasilitasi guru dalam mengembangkan kemampuannnya di bidang DPA guna mengatasi masalah kesehatan mental pada siswa,” katanya.
Sementara Founder Rumah Guru BK dan Widyaiswara di PPPPTK Penjas dan BK Kemendikbud Ristek RI, Ana Susanti, M.Pd. CEP, CHt menambahkan, cakupan wilayah Pelatihan PFA yang luas di seluruh Indonesia ini sejalan dengan salah satu program Kemendikbud Ristek RI yakni memberikan pelatihan peningkatan kompetensi guru di seluruh Indonesia.
“Sejauh ini program pelatihan PFA dari Kemendikbud Ristek RI masih terbatas untuk guru se-Indonesia, tentunya masih belum sebanding dengan jumlah guru yang ada di Indonesia. Adanya Pelatihan PFA dari KGSB ini sangat bermanfaat untuk memeratakan kemampuan para guru di seluruh Indonesia agar masalah kesehatan mental siswa lebih cepat teratasi,” kata Ana.