IPOL.ID – Kejaksaan Agung mulai menyidik kasus dugaan korupsi terkait proyek pembangunan pembangunan pabrik Blast Furnace oleh PT Krakatau Steel (KS).
“Penyidikan ini dilakukan berdasarkan Sprindik Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Nomor: Print-14/F.2/Fd.2/03/2022 tanggal 16 Maret 2022,” ujar Kapuspenkum, Ketut Sumedana di Jakarta, Rabu (16/3).
Adapun kasus ini sebelumnya telah diselidiki berdasarkan Sprinlid Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor : Print- 22/F.2/Fd.1/10/2021 tanggal 29 Oktober 2021. Selama proses penyelidikan, Kejagung telah meminta keterangan terhadap 78 orang dan 3 orang ahli. Selain itu, Kejagung juga menemukan sejumlah alat bukti.
“Di antaranya berupa seratus lima puluh dokumen terkait pembangunan Blast Furnace Complex PT KS,” ungkap Sumedana.
Kasus ini berawal dari pembangunan pabrik Blast Furnance (BFC) bahan bakar batubara oleh PT KS pada 2011-2019. Selain memajukan industri baja nasional, pembangunan pabrik BFC bertujuan agar biaya produksi lebih murah. “Karena dengan menggunakan bahan bakar gas, biaya produksi lebih mahal,” kata Sumedana.
Pada 31 Maret 2011, PT KS kemudian melakukan lelang pengadaan pembangunan pabrik BFC. Dalam lelang tersebut, PT KS memenangkan Konsorsium MCC CERI dan PT Krakatau Engineering.
Adapun sumber pendanaan pembangunan pabrik BFC awalnya dibiayai bank ECA / Eksport Credit Agency dari China. Namun dalam pelaksanaannya, ECA dari China tidak menyetujui pembiayaan proyek tersebut karena EBITDA (kinerja keuangan perusahaan) PT KS tidak memenuhi syarat.
Selanjutnya pihak PT KS mengajukan pinjaman ke sindikasi sejumlah perbankan lokal/nasional.
“Bahwa nilai kontrak setelah mengalami perubahan adalah Rp 6.921.409.421.190
Pembayaran yang telah dilaksanakan adalah sebesar Rp. 5.351.089.465.278 dengan rincian porsi luar negeri: Rp. 3.534.011.770.896,- dan porsi lokal Rp. 1.817.072.694.382,” papar Sumedana.
Pada 19 Desember 2019, pekerjaan proyek dihentikan meski belum mencapai 100 persen. Alasannya karena biaya produksi lebih tinggi dari harga slab di pasar.
“Pekerjaan juga belum diserahterimakan dengan kondisi tidak dapat beroperasi lagi atau mangkrak,” tutur Sumedana.
Berdasarkan hal tersebut, Kejagung menemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (ydh)