Menurut Bahar, diskusi terkait kejadian itu kemudian menjadi panjang. Alasannya, kepala desa yang menjadi instrumen pemerintahan, memiliki otonomi, dan bagian dari kekuasaan, di saat yang sama memberi kesan ikut campur dalam politik praktis.
“Menariknya adalah ada yang mengatakan ini tidak salah gitu. Ini benar saja dilakukan karena tidak diatur dalam hukum. Tidak ada satu pun aturan yang melarang mereka ikut dalam kegiatan seperti itu,” katanya.
Dia melanjutkan, fenomena yang menjadikan kepala desa sebagai alat atau bagian dari politik tak sekadar pada acara kepala desa (APDESI) tersebut.
Dia mengkritisi bahkan ketika ada Pilkada Gubernur maupun Pilkada Bupati, kepala desa juga dipergunakan untuk tujuan politik. Menurutnya, dalam segi etika ada pemanfaatan ruang-ruang kosong oleh politik praktis di tingkat desa dan itu tidak diatur dalam regulasi.
“Apakah ini juga bagian dari kultur politik kita? Bahwa kita bagian ini adalah apa, patron-klien itu. Apa yang dikatakan patron, itu yang diikuti klien. Nah ketika bypass dari pusat ke desa tentang sehubungan seperti itu walaupun dalam konteks organisasi, apakah itu dibenarkan?” tanya Bahar mengelaborasi lebih lanjut.