IPOL.ID – Jaksa Agung ST Burhanuddin melalui keterangan resminya, Senin (9/5), pernah memerintahkan seluruh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri agar serius memberantas mafia pupuk.
Merespons hal itu, Kejaksaan Negeri (Kejari) Jombang siap menuntut dua terdakwa kasus dugaan korupsi penyaluran pupuk bersubsidi di wilayah Kabupaten Jombang, Jawa Timur, tahun 2019.
Kedua terdakwa yakni, Kuseri Non Supriyanto selaku Koordinator Penyuluh Pertanian untuk Wilayah Kecamatan Mojoagung dan Solakhuddin selaku Ketua KUD Sumber Rejeki.
Kapuspenkum Kejaksaan Agung (Kejagung), Ketut Sumedana, mengatakan, terdakwa Kuseri dituntut dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sejumlah Rp200 juta dengan subsider tiga bulan kurungan.
“Terdakwa Kuseri juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp107 juta,” ungkap Ketut melalui keterangannya, Minggu (15/5).
Kemudian, terdakwa Solakhuddin dituntut dengan pidana penjara selama empat tahun dan pidana denda sejumlah Rp200 juta subsider tiga bulan kurungan. “Terdakwa Solakhuddin juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp435 juta,” ujarnya.
Dalam modus operandinya, kedua terdakwa diduga mengiming-imingi para petani tebu yang memiliki luas lahan lebih dari dua hektar bisa membeli pupuk bersubsidi.
Nah, Kuseri Koordinator Penyuluh Pertanian untuk Wilayah Kecamatan Mojoagung memberikan arahan para petani tebu agar menggunakan KTP orang lain atau menggunakan KTP milik anggota keluarganya yang lain untuk didaftarkan ke dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) Perkebunan Tahun 2019.
Setelah mendapat arahan dari Kuseri, Solakhuddin yang merupakan Ketua KUD Sumber Rejeki meminta dan menerima foto kopi KTP dari para petani tebu yang mengusahakan lahan melebihi dua hektar di wilayah Kecamatan Mojoagung.
Data identitas ini seolah bakal dipergunakan untuk memasukan nama-nama para petani itu ke dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) tanaman perkebunan Kecamatan Mojoagung, Kabupaten Jombang tahun 2019.
“Secara faktual, di wilayah kecamatan Mojoagung tidak terdapat kelompok tani tanaman tebu sehingga RDKK yang dibuat oleh para terdakwa adalah RDKK fiktif, dimana RDKK ini adalah salah satu instrumen untuk menebus atau membeli pupuk bersubsidi. Jadi pada akhirnya terjadilah penyaluran pupuk bersubsidi yang tidak tepat sasaran,” ungkap Ketut.
Atas perbuatannya, kedua terdakwa dikenakan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah UU No 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (ydh)