Yang menyedihkan, kata Denny, setiap ada orang yang mempersoalkan masalah sengketa lahan yang menyangkut pengusaha besar itu akan siap-siap dengan kekerasan. Mulai teror, pembunuhan, dan kriminalisasi.
Salah seorang petani bercerita harus rela lahannya 20 hektare lebih diserobot pengusaha sawit. Kasus yang sudah terjadi sejak dua tahun lalu sampai saat ini juga belum jelas ganti ruginya. “Saat ditanya berulang-ulang dijawab ‘nanti akan diselesaikan’,” katanya.
Hal yang sama, kata dia, juga terjadi dengan petani-petani lain. Paling banter para petani itu hanya menerima ganti rugi Rp35.000 untuk satu tanaman sawit yang dimilikinya. “Tanahnya tidak diganti,” katanya.
Petani lainnya mengamini cerita rekannya itu. Kata dia, ketika dirinya dan masyarakat lain menuntut ganti rugi tanah, mereka akan menerima ancaman dari aparat penegak hukum.
“Apa kamu mau digelang putih (borgol). Padahal Kami mau mencari keadilan bukan mau memberontak,” timpal petani yang tak mau disebutkan namanya ini.
Karena aparat hukum tak bisa banyak diharap, dia berharap PBNU bisa membantu menangani persoalan-persoalan yang ada di Kalimanten Selatan ini.