IPOL.ID – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menyebut kelompok Khilafatul Muslimin sama bahayanya dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesia (NII), serta Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pasalnya, mereka mengampanyekan tegaknya sistem khilafah.
Hal ini dikatakan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen R Ahmad Nurwakhid menanggapi tayangan di media sosial terkait konvoi rombongan pemotor dengan membawa atribut bertuliskan kebangkitan khilafah di Brebes, Jawa Tengah; dan Cawang, Jakarta Timur.
Dalam beberapa atributnya, mereka mengampanyekan tegaknya sistem khilafah sebagai solusi umat yang dilakukan kelompok Khilafatul Muslimin.
Nurwakhid menyebut bahwa Khilafatul Muslimin memiliki cita dan ideologi yang sama dengan HTI, yang telah dibubarkan pemerintah, yaitu mendirikan khilafah. Bedanya, HTI merupakan gerakan transnasional dan sedang memperjuangkan sistem khilafah di berbagai negara.
“Sementara Khilafatul Muslimin mengeklaim sudah mendirikan khilafah dengan adanya khalifah yang terpilih,” kata Nurwakhid dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Rabu (1/6/2022).
Nurwakhid menjelaskan genealogi Khilafatul Muslimin tidak bisa dilepaskan dari NII. Sebab, sebagian besar tokoh kunci dalam gerakan ini merupakan mantan NII.
Pendiri dan pemimpinnya, yakni Abdul Qadir Hasan Baraja yang merupakan mantan anggota NII sekaligus salah satu pendiri Pondok Pesantren Ngruki. Abdul Qadir juga ikut ambil bagian dalam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada 2000 walaupun memilih tidak aktif.
Nurwakhid menyampaikan ada beberapa parameter yang bisa dipakai dalam melihat Khilafatul Muslimin. Pertama, aspek ideologi sangat berbahaya dengan memiliki cita ideologi khilafah di Indonesia sebagaimana HTI.
“Walaupun dalam pengakuan mereka tidak bertentangan dengan Pancasila, namun ideologi mereka adalah mengafirkan sistem yang tidak sesuai dengan pandangannya,” jelas dia.
Kedua, kata Nurwakhid, secara historis, pendiri gerakan ini sangat dekat dengan kelompok radikal, seperti NII, MMI, dan memiliki rekam jejak dalam kasus terorisme. Baraja telah mengalami dua kali penahanan.
Pertama pada Januari 1979, berhubungan dengan Teror Warman, ditahan selama tiga tahun. Kemudian, ditangkap dan ditahan kembali selama 13 tahun, berhubungan dengan kasus bom di Jawa Timur dan Borobudur pada awal 1985.
Ketiga, dampak ideologis, gerakan ini yang memiliki cita-cita ideologi perubahan sistem sangat rentan bermetamorfosa dalam gerakan teror.
“Lihatlah kasus penangkapan NAS, tersangka teroris di Bekasi yang ditemukan di kontrakannya kardus berisi Khilafatul Muslimin dan logo bordir Khilafatul Muslimin,” ungkap dia.
Selain itu, gerakan Khilafatul Muslimin mudah berafiliasi dengan jaringan kelompok teror, seperti ISIS. Bahkan, saat masa kejayaan ISIS pada 2015, peneliti terorisme dari Singapura Rohan Gunaratna menggolongkan Khilafatul Muslimin berbaiat kepada ISIS.
Terkait masalah ini, Nurwakhid mengatakan BNPT akan melakukan koordinasi pencegahan dengan pemerintah daerah dan Forkopimda di seluruh wilayah NKRI untuk mewaspadai gerakan ini karena bertentangan dengan falsafah bangsa dan berpotensi melahirkan gerakan terorisme.
“Koordinasi ini akan terus dikuatkan. Tujuannya untuk terus melakukan deteksi sedini mungkin terkait potensi munculnya akar radikalisme dan terorisme di tengah masyarakat,” kata Nurwakhid.