IPOL.ID – Pemasangan alat pengendali dan pengaman pengguna jalan (polisi tidur) sering kali terjadi dan berakhir dengan pro dan kontra. Seperti halnya banyaknya pemasangan polisi tidur di wilayah Tangerang Selatan, Banten, mengganggu kenyamanan pengendara.
Pemerhati Masalah Transportasi dan Hukum, Budiyanto mengatakan, hal tersebut terjadi karena pemasangan polisi tidur tersebut terlalu banyak dengan jarak berdekatan. “Sehingga itu sangat mengganggu keamanan dan kenyamanan dalam berlalu lintas (cintra produktif) akhirnya karena banyak pengendara yang protes sarana dan prasarana jalan tersebut dibongkar,” kata Budiyanto pada ipol.id, Minggu (26/6).
Didalam Undang-Undang lalu lintas dan aturan turunannya, sambung Budiyanto, sebenarnya istilah “Polisi tidur”, tidak ada. Yang benar adalah alat pengendali dan pengaman pengguna jalan, alat pembatas kecepatan atau tanggul jalan atau pembatas jalan.
Eksisting bahwa alat pengendali dan pengaman pengguna jalan (polisi tidur) adalah permukaan jalan yang dibuat lebih tinggi atau menonjol pada permukaan jalan. Bertujuan untuk membatasi kecepatan kendaraan yang tengah melaju diatas aspal.
Alat pengendali dan pengaman pengguna jalan diatur didalam Undang-Undang lalu lintas dan angkutan jalan, pada Pasal 1 angka 6 tentang prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2013 tentang jaringan lalu lintas dan Permenhub No 14 tahun 2021 tentang perubahan Permenhub No 82 tahun 2018 tentang alat pengendali dan pengaman pengguna jalan.
Peraturan ini, sambung dia, mengatur tentang spesifikasi tinggi, lebar, kombinasi warna dan sebagainya. Jenisnya terdiri dari speed bump, speed hump, dan speed table.
Termasuk juga yang mengatur kewenangan instansi yang dapat membuat sarana dan prasaran jalan berupa alat pengendali dan pengaman pengguna jalan dan yang memberikan izin, yakni :
1. Dirjen Perhubungan Darat untuk jalan nasional.
2. Gubernur untuk jalan provinsi.
3. Bupati untuk jalan kabupaten dan desa.
4. Walikota untuk jalan kota.
5. Badan usaha jalan tol untuk jalan tol setelah mendapatkan penetapan dari Dirjen Perhubungan Darat.
Jadi, menurutnya, secara eksplisit sudah sangat jelas bahwa pembuatan alat pengendali jalan (polisi tidur) sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Baik spesifikasinya maupun instansi yang berwenang membangun/membuat alat pengendali tersebut (polisi tidur).
“Jadi yang berhak untuk membuat dan memberikan izin sudah diatur. Tujuannya agar tidak semua orang berlomba-lomba membuat alat pengendali (polisi tidur) sesuai selera atau argumentasi subyektif, semua harus mengacu pada aturan atau regulasi yang ada sehingga tidak kontra produktif (mengganggu keamanan dan kenyamanan berlalu lintas),” ulas Budiyanto.
Hanya, lanjut dia, kadang-kadang masing-masing daerah membuat perda disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing. Seperti misalnya dalam Perda DKI Jakarta No 8 tahun 2007 disebutkan Warga DKI Jakarta boleh membuat polisi tidur sendiri dengan izin gubernur. Apabila tanpa izin adalah melanggar hukum.
Didalam Pasal 28 Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang LLAJ, berbunyi : (1) setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan kerusakan dan atau gangguan fungsi jalan. Ketentuan pidananya diatur dalam Pasal 274 Undang-Undang No 22 tahun 2009 tentang LLAJ, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp24.000.000 (dua puluh empat juta rupiah).
Pembuatan alat pengendali (polisi tidur) sudah diatur spesifikasinya termasuk instansi yang memiliki kewenangan untuk membangun atau memberikan izin. “Sehingga pembuatan sarana tersebut tidak kontra produktif, namun bermanfaat sebagai pengendalian, membatasi kecepatan kendaraan untuk memberikan rasa aman, nyaman dalam berlalu lintas,” tutup dia. (ibl)