IPOL.ID – Saat ini mencuat 14 isu krusial seputar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Salah satu yang jadi sorotan adalah pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga negara. Guru Besar Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Prof. Mompang Lycurgus Panggabean mengajak masyarakat tidak skeptis terhadap RKUHP yang saat ini masih digodok DPR dan pemerintah.
“Ini isu (RKUHP-red) sebenarnya sudah lama dibahas. Jangan kita berpikir DPR atau pemerintah arogan atau tidak melibatkan masyarakat. Semuanya bisa diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK),” ujar Mompang Lycurgus usai acara Pengukuhan dan Orasi Ilmiah Guru Besar di UKI Jakarta Rabu (6/7/22). Dalam acara itu, Selain Mompang, UKI juga mengukuhkan Guru Besar bidang Manajemen Pendidikan Prof Hotmaulina Sihotang.
Mompang mengetahui bahwa selama ini sudah banyak elemen masyarakat yang mengajukan uji materil ke MK terkait pasal-pasal bermasalah tersebut. Ia pun berharap masyarakat menghargai hasil putusan MK tersebut sebagai hasil hukum positif yang final dan mengikat. “Terkait pasal penghinaan terhadap presiden, Mompang mengatakan MK pastinya sudah memiliki landasan hukum yang kuat sehingga presiden sebagai individu biasa juga memiliki hak hukum, kita hormati,” katanya menjawab indoposonline.id.
Terlepas dari itu, Mompang Lycurgus Panggabean menilai polemik seputar RKUHP jangan membuat elemen masyarakat mundur. “Kita harus tetap kawal dan jangan ganggu tekad kita untuk membangun sistem hukum yang lebih baik di negeri ini,” ujarnya sambil mempersilakan apapun terkait hasil produk hukum bisa dituntaskan serta diajukan uji materi kembali ke MK.
Satu hal yang perlu digarisbawahi menurut Mompang adalah DPR dan pemerintah harus terus melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif. Hal ini sesuai dengan undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan. “Jadi biar tidak berkesan tidak ada dusta di antara kita,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui Ketentuan mengenai “penghinaan presiden” sebenarnya sudah pernah dibatalkan MK melalui putusan Nomor 031-022/PUU-IV/2006. Pertimbangan hukum (ratio decindendi) yang dimuat dalam putusan MK tersebut yakni, pasal penghinaan presiden berpotensi menghambat kritik terhadap kebijakan pemerintah sehingga dinyatakan inkonstitusional.
Terbaru, pemerintah memutuskan tetap memasukkan pasal penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menyebut, pemerintah menambahkan penjelasan soal kritik guna membedakan antara penghinaan dan kritik. Tambahan penjelasan mengenai kritik terkait Pasal 218 ayat 2 yang menyangkut penyerangan harkat dan martabat presiden atau wakil presiden.
Dalam orasi pengukuhan guru besar nya, Mompang Lycurgus Panggabean juga menyinggung tentang tujuan didirikannya negara oleh para founding fathers. Ia berpendapat sudah seyogyanya kebijakan hukum harus mengarah kepada kebijakan sosial dan tidak boleh dilepaskan dari norma dan kebijakan masyarakat yang jauh lebih luas.
Pertahankan UKI Unggul
Pada bagian lain, dalam pengukuhan dan orasi ilmiahnya, Prof Hotmaulina Sihotang menyinggung tentang pentingnya peran kepemimpinan dalam memeprtahankan dan meningkatkan status predikat unggul UKI yang didapat dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).
Menurutnya peran pemimpin dalam hal ini yang berkecimpung langsung dalam kegiatan di UKI termasuk yayasan UKI, telah berlandaskan pada aturan dan sesuai dengan penjaminan mutu internal. “Peran pimpinan sangat baik dengan memotivasi dan mendorong tiap dosen yang ingin meningkatkan jabatan fungsionalnya. Yayasan dan rektor sangat mendukung. Ada program percepatan guru besar dan terbukti tahun ini kami berhasil menambah dua orang guru besar,” ujar Hotmaulina.
Dalam orasinya ia mengemukakan peran pimpinan struktural dan keilmuan harus bersama sama saling mendorong demi memajukan UKI. (tim)