IPOL.ID – Setiap etnis atau suku di Indonesia memiliki senjata khas sebagai simbol kebesaran masing-masing daerah. Semisal, etnis Jawa memiliki keris sebagai senjata kebesaran, kemudian Sunda terkenal kujangnya. Dan etnis Betawi dengan goloknya.
Bicara golok, senjata tajam ini telah menjadi identitas raja hingga pejabat tertentu sejak zaman baheula. Nah untuk menggalinya lebih dalam ipol.id berbincang santai dengan salah satu perajin golok yakni Aken Sutra Sukendar, warga Cipayung, Jakarta Timur.
Aken Sutra Sukendar pun menjelaskan, kenapa golok harus diperhatikan. Sejak usia tujuh tahun, dirinya sudah menyenangi senjata tajam. Hanya dalam perkembangannya banyak orang belum mengetahui rinci tentang golok. Seperti nama bagian-bagian dari golok itu sendiri.
Golok memiliki bagian seperti perah (pegangan), selut (guard), gagodong, sarangka (sarung), simeut meting (pengikat). Kemudian bilah, saseket (bagian tajam), ujung golok namanya congo, dan curuk (turunan).
“Seperti itu yang harus diperhatikan dan saya akan terus mensosialisasikan golok ini, sebagai edukasi agar ada pewarisnya,” cerita Aken saat ditemui ipol.id di Taman Mini Indonesia Indah (TMII).
Tahun 2001, Aken melanglang buana ke tempat para perajin golok di Banten, Garut, Ciwidey, Cianjur, dan Tasik Malaya, Jawa Barat. Bahkan hingga ke Madura, Jawa Timur. “Hampir 70 persen penghasilannya dulu saya tumpahkan, riset ke golok, sampai saya dikatakan gila karena gak ada yang dukung saya waktu itu,” tutur bapak dua anak itu.
Sampai Aken mulai menempa baja hingga tangannya kesakitan. Menempa 1-2 jenis baja, mulai membuat golok biasa, kemudian bikin baja selap, bahasa Jepangnya Warihatetsu istilah katana. Belajar membuat 2-5 bahan baja menjadi satu golok dan sekarang tujuh bahan disulap ke satu golok.
Makin kemari, Aken butuh panggung hingga dia mengadu ke Dinas Pariwisata Ekonomi dan Kreatif (Parekraf) DKI Jakarta. Untuk menyosialisasikan golok secara masif, sebagai sarana edukasi, komunikasi, membuat, arena ketangkasan, bermain, dan ekspresi.
“Akhirnya saya mendirikan bengkel golok di anjungan Provinsi DKI Jakarta, TMII, sampai saat ini pun saya masih belajar dan terus belajar menempa (baja),” katanya.
Dalam perkembangannya, lanjut Aken, golok itu terspesifikasi oleh nilai-nilai kebutuhan. Seperti halnya golok pakem berasal dari daerah Padjajaran, Jawa Barat. Golok ini dibuat dengan metode yang sama sejak dulu sampai sekarang tidak berubah.
“Salah satu ciri khas (golok) pakem dari senjata Jawa Barat (Pajajaran) yang sangat terkenal adalah Golok Pasundan,” tutur pria Aken sambil menyeruput kopinya.
Zaman sekarang, lanjut Aken, golok pakem digunakan sebagai pegangan “ageman” atau benda budaya. Sekarang ini, banyak golok-golok modern yang dibuat karena itu tadi adanya kebutuhan seperti untuk pemotongan/penyembelihan hewan kurban, memotong kayu, batang pohon, dan sebagainya.
“Untuk kebutuhan (golok modern) tajam luar biasa, daya bentur luar biasa dan sangat elastis, maka itu dibutuhkan bahan yang terbuat dari baja. Namun hadirnya golok modern tidak merubah adanya golok pakem,” jelas pria 41 tahun itu.
Secara gamblang dijelaskan, golok modern dibuat dengan baja modern, seperti K110 Bohler, SOP9, Vankorn, dan Vanhadis. Bahan-bahan itu adanya di kawasan Ancol dengan pengimportir PT Bohler. “Nah, saya menempa bahan baja itu menjadi sebuah golok yang berkualitas,” imbuh Aken.
Dalam pembuatan golok, dia bekerja sama dengan perajin di Bandung, Jawa Barat. Seperti Kang Deni, Egi, Maman, Jajang Toet, Abah Masambas dan teman-teman di Ciwidey yang ahli mengukir. “Untuk mengkombinasikan golok pakem dengan ukiran, ukirannya pun pakem,” tambahnya.
Lebih jauh Aken menginformasikan, golok merupakan/sebagai identitas, benda budaya dan koding. Bahwa dulu golok lurah, camat beda dengan gubernur, beda dengan golok raja. Sekelas jawara, satria itu beda goloknya dengan RT.
Biasanya, jelas dia, golok dulunya dipakai sebagai status sosial yang tercermin pada masyarakat. Zaman dulu belum ada identitas/KTP. “Apa buktinya dia lurah? Dulu raja ngasih golok sebagai identitas seseorang, contoh jika diundang oleh raja gak bisa datang, perwakilannya bisa datang membawa golok. Jadi raja tahu oh ini anak lurah atau cucunya lurah. Itu sebagai identitas,” tambahnya.
Sehingga golok pakem memiliki kelas tersendiri. Yang membedakan golok, pertama dari bahan dasarnya. Kedua teknik cara pembuatan, dan ketiga status sosial.
Ukiran golok juga berbeda-beda, biasanya golok yang terdapat ukiran binatang seperti harimau, monyet, hingga singa itu yang memiliki regu. Tapi kalau sekelas pejabat, pembuat keputusan biasanya pakai pariaman.
Kemudian pasukan serbu biasa pakai kaki kijang sebagai simbol lari cepat. Ada juga simbol lainnya, seperti buta bungkem untuk tim intelejen, biasanya ada beberapa gagang membedakan.
“Ada 120 lebih gagang golok sebagai simbol/kode, jadi kita cukup lihat dari gagang dan sarung golok saja bisa tahu, pasti dalamnya juga beda, disesuaikan untuk siapa, masing-masing daerah punya identitasnya tersendiri,” ungkapnya.
Aken menyebutkan, banyak literasi yang mengatakan bahwa si Pitung memiliki golok dari Banten. Pitung seorang jawara baik hati, pendekar yang mendalami pencak silat.
“Bagian dari budaya bahwa golok itu simbol, dia jawara, pendekar, satria, atau panglima. Seperti halnya si Pitung dan golok menjadi satu kesatuan tak terpisahkan,” katanya lagi.
Sebenarnya, jelas Aken, fungsi golok adalah sebagai pakaian. Disebutkan dalam Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian “Golok itu adalah pakaian, pakaian itu bukan senjata”.
Jenis golok lain pun ada golok berupa tool, kalau dari bilahnya sendiri golok ada Salam Nunggal, Janjang Walet, Kapak Rawing, Hambalan, maupun Sotogayot. “Itu semua jenis-jenis bilah yang diperuntukkan untuk kebutuhan khusus,” sebutnya.
“Misal golok Hambalan khusus bagi pekerja keras untuk menebang bambu dan kayu, tapi Salam Nunggal dipakai itu akan patah, karena tidak sesuai kebutuhan. Desain yang dibuat pada bentuk bilahnya beda, ada beberapa golok yang jenisnya tool dan ageman,” tambahnya.
Dalam pembuatan sebuah bilah ada istilah forging/tempa, tempa lipat, dan stok renoval. Baja zaman sekarang modern yang dibuat dari baja flat, didesain, digrinding, disepuh di gagangin jadi golok. Kalau pamor (teknik tempa lipat) beberapa jenis baja digabung jadi satu golok.
“Nantinya akan keluar corak alami, jadi pamor ada fase perencanaan, by desain, sesuai kebutuhan,” paparnya seraya menegaskan keinginannya menyosialisasikan golok ke masyarakat.
Dalam perkembangannya, teknik metarologi dan dasar pengolahan sebuah golok menjadi sangat kaya. Golok pakem sendiri mempunyai 42 metode teknik tempa lipat. Itu baru teknik dasar, belum lagi ada teknik selap. “Tapi kalau golok modern dibuat hanya dengan metode sangat sederhana, seperti golok tool satu hari hasilnya bisa jadi 10-20 golok,” tambahnya.
Dalam proses pembuatan golok pakem bisa membutuhkan waktu 1-2 bulan. Hasilnya hanya jadi 1-2 buah golok berkualitas bagus. Nah, dalam pembuatan golok pakem juga ada hitungan namanya Tapak Jari Indungan, hitungan personalisasi sebilah golok dan tuannya.
“Misalnya abang pakai golok saya, pasti genggaman tangannya gak enak, panjang bilahnya pasti gak enak. Jadi masing-masing orang punya lebar telapak tangan, lebar bilah sampai lebar bahu sebagai lengan ayun, lingkar tangannya sendiri, itu ada itungan, rumusnya, itungan hari, bulan, jadi itungan tradisional itu dijaga. Itu bukan mistis,” katanya mencontohkan.
“Sampai nebang kayu dihitung agar kayu tidak keropos, istilahnya diteres, termasuk gagang golok dulu itu kenapa awet. Karena pohonnya diteres dulu, kulitnya dibuang, ketika kering baru ditebang. Sekarang kan pohon main tebang, buat. Sampai teknik pengawetan kayu juga saya pelajari, spesial mempelajari ilmu tradisional, itu sangat ilmiah,” beber Aken.
Kaitannya golok sama dunia pencak silat juga sangat erat. Sebab golok silat tidak bisa terlepas dari jurus, gerak kebutuhan pencak silat bisa tergambar dari golok.
“Bagaimana caranya orang pegang golok, mengeluarkan jurus hingga kita bisa tahu silatnya apa, seperti itu. Nah yang begitu jarang sekali dipelajari,” akunya.
Aken berharap, ke depan sosialisasi golok dapat menjadi agenda besar nasional untuk mempelajari seluruh bilah. Contoh, Padang, Sumatera Barat, punya senjata tradisional Kerambit. Orang Betawi, Bandung, jarang tahu bagian golok. “Saya harap itu bisa masuk materi budaya disetiap sekolah, minimal pelajar SMP dapat edukasi,” harapnya.
Ada kebutuhan khusus, sangat teknis dalam dunia golok yang harus diketahui. Ada istilah Kenong Kumpul Kembar, menggabungkan beberapa baja menjadi satu.
Ada teknik tempa Lipat sangat populer, Kitir Aji, Sogok Rebang, Selap, Tapak Siring. “Nantinya kami sosialisasikan (golok) di bengkel golok di anjungan Provinsi DKI Jakarta, TMII,” katanya lagi.
Kedepan, bengkel golok akan menjadi tempatnya edukasi, sosialisasi bahwa golok itu tidak intimidatif. Sebagai pesilat pemegang golok sudah melewati fase bedaran. Jadi bukan lagi mengalahkan orang, tapi memiliki jiwa penolong, pengasih, pemberi, pemaaf dan menjadi seorang pemimpin, dan mengayomi, mencerminkan jati diri seorang pesilat.
Aken mengatakan, saat ini dukungan pemerintah akan dunia golok mulai hangat. Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif DKI Jakarta mulai perhatian. Dunia golok itu ramai, karena masing-masing demografi wilayah punya teknik khusus, bentuk bilah, gagang dan sarung yang khusus.
“Jadi identifikasi wilayah dapat dilihat dari sarung, gagang dan bilahnya,” ucapnya.
Mudah-mudahan dengan adanya bengkel golok di TMII bisa menjadi wadah sosialisasi. Golok sebagai alat diskusi yang harus dipelajari dengan sungguh-sungguh. Karena kandungan golok macam-macam, ada nikel, perak, stainless, teknik tempa luar biasa, pembuatannya luar biasa.
“Karena yang diwariskan ini bukan hubungan transaksional, tapi hubungan emosional,” pungka Aken yang juga seorang pesilat. (Ibl)