IPOL.ID – Anggota Fraksi PSi DPRD DKI Jakarta Eneng Malianasari menilai, kalau kebijakan Dinas Perhubungan (Dishub) DKI, memisahkan tempat duduk laki-laki dan perempuan di dalam angkutan umum (angkot) untuk mencegah pelecehan seksual tak efektif.
Menurutnya, kebijakan yang akan diterapkan Dishub DKI tersebut merupakan solusi yang hanya bersifat jangka pendek saja tidak berkepanjangan.
“Apakah Dishub DKI sudah melihat atau memikirkan ruang duduk yang begitu sempit didalam angkot. Dan ini berbeda dengan TransJakarta atau Commuter line yang memiliki ruang luas,” jelas Eneng di Jakarta, Selasa (12/7).
Anggota Komisi C DPRD DKI ini menerangkan, problem yang terjadi bukan hanya soal implementasi dari kebijakan saja, tapi bagaimana pengawasan dan penertiban yang dilakukan aparat penegak hukum agar tidak terulang lagi kejadian pelecehan tersebut.
Menurutnya, pemerintah bersama semua stakeholder baik itu institusi Komnas HAM, Komnas Anak dan Perempuan, juga LSM lainnya untuk duduk bersama membahas strategi berkepanjangan agar tidak lagi terjadi pelecehan di transportasi umum.
“Dengan duduk bersama, diharap melahirkan solusi jitu menanggulangi hal tercela tersebut terjadi lagi,” tegasnya.
“Maraknya tingkat kekerasan dan pelecehan seksual tentu menjadi concern semua pihak, sambung Eneng, pemerintah perlu juga merumuskan sistem untuk menciptakan rasa aman dan kenyamanan warga saat berada dalam transportasi umum,”sambungnya.
Lanjut dia, menurut Amnesty International pelecehan dan kekerasan seksual termasuk kasus HAM berat. Jadi tindakan kekerasan seksual, termasuk pelecehan seksual harus ditangani secara sistematis terorganisir agar bisa memutus mata rantai dan selanjutnya mencegah terjadinya kembali pelecehan seksual.
“Kewajiban masyarakat melaporkan pelaku pelecehan seksual juga telah diatur secara hukum. Dalam UU no. 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang sudah disahkan pada tanggal 12 April 2022 lalu” jelasnya.
Eneng juga meminta kepada penegak hukum untuk memberi hukuman seberat-beratnya pada pelaku pelecehan atau kekerasan seksual sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Dalam Pasal 5 UU TPKS mengatur bahwa pelaku perbuatan seksual nonfisik dapat dipidana hingga 9 bulan penjara.Tak hanya itu, UU TPKS juga mengatur pelecehan seksual fisik sebagai salah satu tindak pidana kekerasan seksual.
Lalu, menurut Pasal 6 UU TPKS, pelaku pelecehan seksual fisik dapat dipidana hingga 12 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 300 juta. (pes)