IPOL.ID – DKI Jakarta sempat masuk kategori kualitas udara terburuk di dunia. Kini, kualitas udara Ibu Kota semakin membaik.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Wahyu Argo, mengatakan, rata-rata kualitas udara di Jakarta berada dalam kondisi sedang dengan konsentrasi PM2.5 berada pada angka 49,06 mikrogram per meter kubik sepanjang bulan Juni 2022.
Dikatakan, lonjakan peningkatan konsentrasi PM2.5 tertinggi berada pada level 148 mikrogram per meter kubik pada 15 Juni 2022. “Konsentrasi partikulat cenderung meningkat pada waktu dini hari hingga pagi, dan menurun saat siang dan sore hari,” sebut Wahyu dikutip Antara, Jumat (2/7).
PM2.5 mengacu pada materi mikroskopis tertentu dengan diameter 2,5 mikrometer atau kurang. Partikel ini memiliki banyak efek merugikan bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Karena itu, salah satu polutan utama yang digunakan dalam menghitung kualitas udara kota atau negara secara keseluruhan.
Konsentrasi partikulat memiliki empat tingkat dengan rincian kualitas udara baik antara 0 sampai 15 mikrogram per meter kubik, kualitas udara sedang antara 16 sampai 65 mikrogram per meter kubik, dan kualitas udara tidak sehat antara 66-150 mikrogram per meter kubik.
Sedangkan kualitas udara sangat tidak sehat nilai konsentrasi partikulatnya berada pada angka 151 sampai 250 mikrogram per meter kubik. Dan kualitas udara berbahaya di atas 250 mikrogram per meter kubik.
Artinya, nilai batas konsentrasi polusi udara yang diperbolehkan berada dalam udara ambien adalah 65 mikrogram per meter kubik.
Wahyu menjelaskan, konsentrasi partikulat yang tinggi dibandingkan bulan-bulan sebelumnya juga dapat terlihat saat kondisi udara di Jakarta secara kasat mata terlihat cukup pekat atau gelap.
Beberapa faktor yang memengaruhi konsentrasi partikulat tetap memberikan kontribusi pada penurunan kualitas udara di wilayah Jakarta. Antara lain, emisi dari sumber lokal berupa transportasi dan pemukiman, serta emisi sumber regional yang berasal dari kawasan industri dekat dengan Jakarta.
Faktor lainnya, pola angin lapisan permukaan yang memperlihatkan adanya pergerakan masa udara dari arah timur dan timur laut menuju ke Jakarta. Kondisi tersebut berimbas terhadap akumulasi konsentrasi PM2.5 di Ibu Kota.
“Ketiga, akibat tingginya kelembaban udara relatif, sehingga mendorong peningkatan proses absorsi partikulat di udara permukaan,” tambahnya.
Faktor terakhir ada lapisan inversi yang merupakan lapisan di udara yang ditandai dengan peningkatan suhu udara seiring dengan peningkatan ketinggian lapisan. Dampak dari keberadaan lapisan inversi menyebabkan partikulat yang ada di permukaan menjadi tertahan, tidak dapat bergerak ke lapisan udara lainnya, dan dapat mengakibatkan akumulasi konsentrasi partikulat.