IPOL.ID – Pemerintah pernah mengeluarkan jurus menerapkan harga eceran tertinggi (HET) dalam mengendalikan minyak goreng. Tetapi regulasi itu tak mempan menjadi peredam naiknya harga di pasaran.
Secara keilmuan kebijakan tersebut memang tidak tepat. Ketua Tim Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Eugenia Mardanugraha, mengatakan, berdasarkan survei yang dilakukan, ditemukan bahwa penerapan HET bukan opsi yang baik dipilih oleh pemerintah dalam mengendalikan harga minyak goreng.
“Kalau harga eceran tertinggi diterapkan, maka kelangkaan sudah pasti terjadi. Nah itu mekanismenya di pasar,” ungkap Eugenia dalam diskusi online di Jakarta, Senin (1/8).
Contohnya, harga keekonomian minyak goreng di pasar Rp25.000/kg. Kemudian pemerintah menentukan HET Rp14.000/kg sehingga ada perbedaan harga 44 persen.
Perbedaan harga pada akhirnya menimbulkan persentase kelangkaan mencapai 49 persen. “Penelitian ini menyarankan agar kebijakan HET dihapuskan saja, demi menghindari kelangkaan (minyak goreng) yang sangat besar,” ucapnya.
Kebijakan HET yang berlaku saat ini juga merupakan kebijakan yang mendistorsi pasar. Sebab minyak goreng dijual di bawah harga keekonomian.
“Teorinya, kelangkaan itu terjadi ketika produsen dipaksa menjual dengan harga lebih rendah daripada harga keseimbangan pasar atau harga ke ekonomian. Ya, itu adalah mekanisme pasar,” katanya lagi.