IPOL.ID – Wakapolri, Komjen Gatot Eddy Pramono, menyampaikan, ada lima sebab anak-anak muda tertarik pada narasi dan gerakan intoleran serta radikal.
Pertama, mereka sedang mencari identitas diri. Studi yang dilakukan oleh The United States Institute of Peace pada 2010 menunjukkan 2.032 militan asing jaringan Alqaeda berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar. Mereka adalah orang-orang yang sedang mengembara menemukan jati dirinya.
“Kedua, mereka membutuhkan perasaan kebersamaan. Kelompok teroris pandai memanfaatkan para remaja yang sedang resah terhadap kondisi emosionalnya. Mereka ingin mencari kebersamaan, kadang tidak mereka dapatkan dari keluarganya,” papar Komjen Gatot dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/8).
Ketiga, lanjut dia, mereka ingin memperbaiki apa yang dianggap menciderai rasa keadilan. Para remaja ini memiliki semangat menggebu-gebu dan idealisme tinggi untuk melakukan perubahan. Hal inilah yang juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris.
Keempat, mereka sedang membangun citra diri. Kelompok remaja sangat ingin terlihat menonjol atau eksis.
“Karenanya mereka cenderung tidak segan melakukan berbagai cara untuk tampil impresif, termasuk di antaranya dengan menjadi bagian dari kelompok dan gerakan ekstremis,” tambahnya.
Kelima, mereka memiliki akses luas untuk berinteraksi dengan siapa pun di dunia maya. Termasuk dengan kelompok radikal. Persinggungan di dunia maya inilah yang kerap menjadi permulaan bagi kalangan muda untuk bergabung dengan kelompok teroris.
“Khusus pada poin terakhir, banyak kalangan menyebut media sosial telah membuat kalangan anak-anak muda semakin rentan, terutama sebagaimana dikemukakan dalam temuan Wahid Foundation (2017) karena kalangan muda lebih senang belajar agama dari media sosial, dengan ustaz atau ustazah yang belum tentu terjamin kualitas keilmuan dan akhlaknya,” tuturnya.
Mantan Kapolres Metro Jakarta Selatan itu mengatakan, penanggulangan bahaya radikalisme dan terorisme di kalangan perguruan tinggi harus diprioritaskan. Selain karena hal ini merupakan bagian dari tiga dosa besar di dunia pendidikan yang sedang gencar dihilangkan oleh pemerintah.
“Radikalisme dan terorisme juga berpotensi besar menghancurkan bukan saja negara, tetapi kemanusiaan dan peradaban kita,” cetus Gatot.
Untuk itu, Polri serius membangun kerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia untuk melawan segala bentuk ajaran dan gerakan kekerasan. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kesiapsiagaan nasional, masifikasi program kontra-ideologi, deradikalisasi, netralisasi media, serta netralisasi situasi.
Pihak kampus pun harus lebih aktif menjadi, meminjam istilah Kadensus 88, kampus inklusi antiintoleransi. Hal tersebut dapat diwujudkan pertama, membuka lebih banyak ruang perjumpaan di dalam kampus; tak boleh ada organisasi mahasiswa bersifat eksklusif.
Kampus juga harus tegas soal regulasi antiradikalisme di internal masing-masing. Hal ini diwujudkan salah satunya dengan kesepakatan bersama selalu patuh dan menjunjung tinggi empat komitmen dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
“Kampus harus selalu memastikan materi pembelajaran mengandung pandangan keagamaan moderat dan bernuansa wawasan kebangsaan. Hanya dengan komitmen dan kebersamaan, kita dapat bersama-sama mengalahkan paham dan gerakan kekerasan,” katanya. (Joesvicar Iqbal)