IPOL.ID – Jelang Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, turun takhta, banyak orang yang membahas siapa penggantinya. Yang pasti, ada harapan Penjabat (Pj) Gubernur DKI adalah figur netral.
Dalam focus group discussion (FGD) bertema Mencari Figur Ideal Penjabat Gubernur DKI Jakarta di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (28/9) siang, masalah ini menjadi diskusi yang menarik.
FGD ini diikuti oleh pihak yang berkompeten, di antara pakar pemerintahan, Prof Djohermansyah Djohan; Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Zita Anjani; mantan Pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta periode 2016-2017, Soni Sumarsono; pengamat politik, Prof Ryaas Rasyid; Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta, A Zaki Iskandar; dan anggota DPRD DKI lainnya.
Prof Djohermansyah Djohan mengatakan, kegaduhan pengangkatan PJ Gubernur DKI Jakarta membuat mata publik terbuka. “Ini ada apa?” katanya.
“Dalam mencari figur ideal penjabat gubernur DKI Jakarta ini agak unik, kok agak berbeda dengan yang di daerah, maka saya akan membuka rahasianya,” kata Prof. Djohermansyah Djohan dalam FGD yang diadakan di Kantor DPD Golkar DKI Jakarta, Rabu (28/9).
Untuk mencari figur yang ideal itu, lanjut dia. dapat dilihat dengan model pengisian dan kriteria figur ideal PJ Gubernur, karakter, orang yang menjaga, mengurus dan merawat pemerintahan. “Diangkat, oleh siapa? Oleh pejabat yang berwenang,” ucapnya.
Prof Djohermansyah memaparkan, pada mekanisme pengisian kepala daerah di Indonesia, ada modelnya. Pertama, kepala daerah diisi oleh masyarakat, ini dinamakan demokrasi elektoral. “Bentuknya masih prosedural,” katanya.
Kedua, lanjut dia, dipilih secara langsung oleh DPRD. Ketiga, penetapan ditetapkan oleh DPRD berdasarkan usulan kerajaan/sultan yang bertakhta.
Kemudian DPRD mengadakan rapat paripurna dan ketuk palu. Tidak ada voting, yang ada musyawarah mufakat. “Yang keempat, menarik nih. Yaitu mekanisme pengisian oleh pejabat yang berwenang. Namanya demokrasi terpimpin-sentralistik-otoritarian,” paparnya.
Untuk mekanisme pengisian wakil kepala daerah dengan metode ini, langkah pertama, dipilih berpasangan (paket) langsung dipilih oleh rakyat. Kedua, dipilih tidak langsung oleh DPRD.
Ketiga, jelas dia, ditetapkan berpasangan/paket, dipilih tidak langsung oleh DPRD -seorang Paku Alam yang bertahta tandem dengan Sultan HB sebagai Gubernur DIY.
Keempat, diangkat oleh kepala daerah terpilih dari PNS atau non-PNS. “Tergantung juga dengan daerahnya. Nah, kalau sekarang kan model yang seperti ini pecah kongsi. Filosofinya tidak ada dua nahkoda dalam satu kapal, atau tidak boleh ada dua ayam jago dalam satu kandang,” paparnya.
Mengenai prosedurnya, termasuk PJ kepala daerah, tegas Prof Djohermansyah, jangan tiba-tiba muncul dilantik. Pertama, berdasarkan suara terbanyak yang menang. Kedua, berdasarkan suara 50 persen + 1, bila belum ada, lanjut putaran kedua.
Menurut dia, FGD ini bagus digelar agar publik tercerahkan. Jangan sampai juga pemilihannya mengabaikan DPRD. Kemudian melihat cara pertanggungjawaban kepala daerahnya.
Pertama, dipilih oleh DPRD, sampaikan LPJ tersebut kepada DPRD. Namun jika LPJ PJ gubernur tersebut tidak benar, maka dapat diberhentikan oleh DPRD.
Kedua, dipilih langsung, sampaikan LKPJ kepada DPRD, dalam hal tertentu dapat dimakzulkan, sesuai prosedur yang berlaku.
Ketiga, diangkat pejabat berwenang, sampaikan laporan 3 bulan kepada pejabat yang mengangkat. Jika melakukan penyalahgunaan wewenang maka PJ dapat dicopot.
Nah untuk mekanisme pengisian PJ Gubernur DKI, pertama, pengangkatan oleh Presiden dengan mempertimbangkan usulan DPRD DKI Jakarta dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Masing-masing menyetor tiga nama.
Kedua, sidang TPA dihadiri oleh ketua DPRD selaku pengusul. Dan ketiga, menyampaikan LKPJ ini kepada DPRD DKI, di samping laporan juga ke Presiden.
Keempat, masa jabatannya tidak per satu tahun, tapi sampai dilantiknya kepala daerah terpilih hasil pilkada serentak nasional pada 27 November 2024. Kelima, dibolehkan mempunya wakil PJ wakil gubernur DKI mengingat beratnya beban PJ.
“Tentunya menjadi tantangan PJ Gubernur DKI, satu melaksanakan RPD 2023-2026 yang disiapkan Gubernur DKI Anies (Pergub No.25/2022), untuk melanjutkan visi dan misi,” tukasnya.
Selanjutnya, mengenai birokrasi yang besar. Ketiga, memelihara relasi. Keempat, membantu pemerintah pusat supaya lancar tugas lainnya. Kelima, memperjuangkan regulasi baru. Lalu keenam menjaga Jakarta aman dan damai saat Pemilu 2024.
“Sehingga kriteria figur ideal PJ Gubernur DKI Jakarta yaitu memiliki jam terbang yang tinggi di birokrasi, baik tingkat pusat dan daerah. Integritas tidak diragukan, tak ada kasus hukum yang mengikat, tak terafiliasi parpol, netral, bebas dari perbuatan tercela. Memiliki kemampuan komplit, dekat dengan tokoh masyarakat, pers, pejabat Pemerintah Pusat, TNI serta Polri,” simpul Prof Djohermansyah. (Joesvicar Iqbal)