“Terutama dengan menitikberatkan kepada re-distribusi lahan kepada petani kecil, masyarakat adat, dan masyarakat yang tidak memiliki tanah atau landless,” tuturnya.
Hingga hari ini, persoalan ini masih menjadi bagian karut marut persoalan agraria di Indonesia, selain persoalan mafia tanah sebagaimana disebutkan di atas. Sampai hari ini pula, LaNyalla menyebut pemerintah dan perusahaan perkebunan masih belum mengubah tata cara berbisnis di sektor perkebunan.
“Sehingga tidak heran bila wajah pembangunan di sektor perkebunan
masih sarat dengan konflik agraria, penyingkiran hak masyarakat,
pelanggaran HAM, hingga pemiskinan masyarakat setempat secara
sistematis akibat sistem kemitraan inti-plasma yang tidak berkeadilan, bahkan malah menghisap keringat petani kecil,” tegas LaNyalla.
Orientasi pembangunan ekonomi di sektor perkebunan pun tidak berubah, tetap berorientasi kepada kepentingan dan keuntungan pengusaha dan badan usaha besar. Orientasi ekonomi-politik semacam ini seolah negara kita belum beranjak dari sistem perkebunan di masa penjajahan dan Orde Baru.