Pemerintah masih memberikan HGU (Hak Guna Usaha) berpuluh-tahun lamanya. Dengan begitu, hanya pengusaha dan perusahaan besar yang mendapatkan hak tersebut. Proses pemberian HGU yang dilakukan pemodal dan birokrat dilakukan secara tertutup, sehingga menyuburkan mata rantai praktik penyuapan. “Ini sudah menjadi masalah yang akut dan bersifat struktural,” tegas LaNyalla.
Di sisi lain, proses pemberian HGU tersebut juga bermakna sebagai pengambilalihan tanah masyarakat. Dikatakannya, Presiden Jokowi memang telah melakukan penertiban atas tanah-tanah terlantar, sebagai jawaban atas kritik masyarakat. “Tetapi lahan yang ditertibkan tersebut ternyata juga ditawarkan kepada kelompok-kelompok pemodal yang mampu mengelola dengan syarat feasibility studi yang memenuhi syarat, sama sekali bukan untuk re-distribusi lahan kepada masyarakat dan petani kecil yang tidak memiliki lahan,” jabar LaNyalla.
Hal itu terekam jelas dalam pernyataan presiden dalam Kongres Ekonomi Umat ke-2 Majelis Ulama Indonesia, di mana Presiden menawarkan lahan-lahan tersebut kepada lembaga atau badan bisnis ormas yang mampu mengelola dengan pendekatan feasibility bisnis.