IPOL.ID – Tingkat kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum mengalami penurunan cukup drastis. Salah satu yang cukup signifikan adalah terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari hasil riset Lembaga Survei Indonesia pada 2015 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan KPK masih berada di kisaran 80,8 persen. Sementara, data terakhir lembaga survei Indikator Politik pada Agustus 2022 memperlihatkan tingkat kepercayaan publik pada KPK merosot tajam ke kisaran 58,9 persen.
Menurut pendiri Lembaga Hukum Themist Indonesia, Feri Amsari, ada distorsi dalam kinerja KPK dalam kepemimpinan periode terakhir. Ini yang menyebabkan prasangka publik bahwa KPK kehilangan roh independensi dan imparsialitasnya.
“KPK sudah terdistorsi oleh kepentingan politik, apalagi jelang 2024. Ketika dari sejak proses seleksi pimpinan saja bermasalah, jika tidak independen sudah pasti dia partisan. Pada akhirnya jadi alat politik untuk 2024 misalnya,” tegas Feri saat menjadi narasumber dalam diskusi publik bersama lembaga Total Politik bertajuk “Naik Turun Lembaga Penegak Hukum Jelang 2024”, Selasa (6/9) malam.
Munculnya sejumlah kasus yang berkaitan dengan sejumlah tokoh yang berkaitan dengan politik 2024, menurut Feri, membuat penegak hukum juga dianggap kerdil oleh parpol karena pemilihan kasus yang dinilai diada-adakan.
“Itu dari persepsi politik elite parpol. Begitu juga dari masyarakat sendiri, pada akhirnya seperti membenarkan asumsi publik selama ini bahwa penegakan hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas,” jelas pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Sumatera Barat ini.
Terkait upaya pengawasan internal KPK dengan keberadaan Dewan Pengawas (Dewas), Feri menyebut skeptis terhadap efektifitasnya mengawasi KPK dari dalam.
“Saya merasa tidak ada Dewas, yang ada adalah dewan penyelamat pimpinan KPK. Seolah ada mekanisme yang membuat proses-proses kewenangannya sebagai lembaga yang menjaga integritas dan marwah KPK menjadi terbelokkan atau malah gagal. Misalnya saja dalam kasus Wakil Pimpinan KPK Lili Pintauli misalnya, tidak ada ketegasan dari Dewas terkait hal itu,” tutur aktivis hukum ini.
Feri membandingkan persoalan itu dengan Polri yang dalam beberapa waktu terakhir sedang disibukkan dengan kasus Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo.
“Beda dengan Polri di kasus Sambo, di mana dia dipecat karena melanggar kode etik supaya memudahkan proses penegakan hukum terhadapnya. Kapolri juga secara tegas menyatakan proses tetap dijalankan. Itu contoh ada upaya perbaikan kinerja dari dalam,” papar Feri.
Terkait tahun politik jelang Pemilu 2024, Feri menyoroti potensi “perselingkuhan” politik dengan penegakan hukum. Ia mencontohkan pengusutan kembali kasus-kasus yang lama terjadi sehingga seolah-olah ada sesuatu di baliknya, tidak lagi murni hukum.
“Fakta adanya kelindan politik dengan hukum membuat kita susah percaya bahwa tidak akan ada politisasi di penegakan hukum jelang 2024 itu. Misalnya soal Anies Baswedan soal Formula E, e-KTP dengan Ganjar Pranowo, ada juga soal kasus terkait Partai Demokrat, Golkar hingga yang viral disebut ‘Kardus Durian’. Persepsi publik akhirnya terbentuk bahwa ada ‘rekayasa’ terkait pemeriksaan kasus-kasus terkait politik atau partai politik,” tutur Feri panjang lebar.
Fakta yang bisa dilihat adalah dari proses-proses di pengadilan, ada sejumlah kasus yang kemudian tidak terselesaikan. Padahal di institusi lain ternyata bisa terselesaikan.
“Namun problematikanya, susah mengusut atau membuktikan apakah kasus itu benar-benar murni hukum atau karena ada politik ‘rekayasa’ di dalamnya,” tandas Feri Amsari. (ahmad)