“Itu berarti bukan sesuatu yang real. Kita berbicara mengenai tuntutan hukum, berarti harus fakta hukum dong, kalau fakta hukum itu bukan prediksi atau asumsi. Saya sudah sampaikan juga, kok pakai tabel I-O tahun 2016, sekarang aja 2022,” bebernya.
Disampaikannya, padahal pengusaha mengalami kerugian, seperti dipaksa menjual minyak goreng sesuai harga eceran tertinggi (HET) saat harga CPO melambung. “Ada yang tidak dijelaskan dalam detail oleh ahli yang digunakan JPU, yaitu pengorbanan produsen berkaitan dengan HET itu, bagaimana dia tetap menjual meski sebetulnya itu sudah dibawah harga keekonomisan,” terang Haula.
Hal janggal lainnya adalah terkait tak dipertimbangkannya pemenuhan minyak goreng di pasaran (DMO) dan benefit ekspor menjadi pemasukan negara. “Bagaimana mungkin totalnya sekian, ini kita bicara hukum ya. Saya netral aja, saya prihatin kalau sesuatu tidak jelas itu dipaksakan, pakai metode apalagi nanti, mau bagaimana sementara UU belum pernah ngatur,” tandasnya.
Oleh karenanya, dia meminta agar ada kejelasan terkait hal ini dengan memberikan kepastian hukum. Jangan tiba-tiba menunjuk orang untuk menghitung kerugian negara tanpa metode jelas.