Untuk itu, Andry menegaskan, Sharp Indonesia menyikapi dengan menaungi beberapa strategi untuk pengadaan barang terlebih dahulu. Kalau bicara reverensi, sistem tatanan keuangan harus diperkuat, dibenahi. Atau mengalihkan pembelian barang ke negara yang bisa dipakai selain mata uang US Dollar.
“Untuk bisnis dengan Thailand bisa, tapi dengan China ridak bisa karena masih menggunakan dollar. Jadi kami ada pengendalian risiko, makanya jika ditanya berapa target omzet di Tahun 2023 harus ada pertumbuhan, bahkan ingin buat pertumbuhan itu diangka 6 sampai 8 persen,” tukasnya.
Nah, jika dibandingkan di Tahun 2022, di 2022 itu pun ada pertumbuhan sekitar 8 persen dibandingkan Tahun 2021. Tapi tidak bisa dibandingkan di Tahun 2021 ke 2020 karena adanya krisis Covid-19 yang melanda saat itu. Tapi jika dibandingkan di Tahun 2019 saat normal ada pertumbuhan 100 persen. “Jadi kami optimis, kalau merek lain kami tidak tahu ya,” bebernya dengan senyum lebar.
Dia menambahkan, Sharp pun terus mengekspor barang, namun mengalami penurunan, jadi resesi global juga melanda beberapa negara Asia, karena tujuan negara ekspor Sharp ke Asia seperti Thailand, Vietnam, Kamboja, dan Malaysia, Philipina, kemudian meadle east ke Dubai, Afrika, sama Pacific. “Pakistan, Bangladesh, Laos, Kamboja saja sampai negaranya tidak ada US Dollar, mereka ingin sekali membeli barang dari Indonesia,” ungkapnya.