Keanehan pertama, yang diadili adalah aktor lapangan. Sementara komandan dari satuan polisi yang bertugas waktu itu tidak dimintai pertanggungjawaban karena yang bersangkutan tidak melakukan pencegahan.
Kemudian, lanjut Tioria, akses bagi pengunjung dan wartawan untuk menghadiri sidang dibatasi. Mestinya pengadilan menyediakan layar agar pengunjung dan jurnalis bisa mengikuti jalannya sidang atau dibuka secara virtual.
Selain itu, terdakwa sempat dihadirkan secara virtual bukan secara fisik seperti diamanatkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Padahal saat ini sudah tidak lagi dalam situasi pandemi Covid-19.
Keanehan lainnya, majelis hakim menerima anggota Polri sebagai penasihat hukum bagi terdakwa dalam persidangan. Hal ini, menurut Tioria, dapat menimbulkan konflik kepentingan. Sesuai undang-undang, anggota Polri tidak berhak menjadi penasihat hukum dalam persidangan. Hanya pengacara yang berhak menjadi penasihat hukum.
“Kejanggalan kelima, kami melihat hakim dan jaksa penuntut umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil. Ini juga berkaitan dengan kejanggalan keenam bahwa komposisi saksi itu didominasi oleh aparat kepolisian. Kemudian narasinya berubah. Ada fakta-fakta yang coba disamarkan dan berhasil disamarkan,” kata Tioria.