IPOL.ID – Kebijakan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono melakukan rekayasa lalu lintas (lalin) di kawasan pertigaan lampu merah Santa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, mengorbankan trotoar dibangun pada era Gubernur DKI, Anies Rasyid Baswedan.
Jalan di sekitar Pasar Santa yang sebelumnya merupakan trotoar harus dibongkar menjadi jalan raya untuk memfasilitasi kendaraan, Jumat (14/4). Sehingga hal tersebut mendapatkan kritikan berbagai pihak.
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin mengatakan, pembangunan kota modern berorientasi pada penciptaan suasana kota laik huni bagi warganya ditandai udara segar, dan ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH).
Kemudahan akses seluruh wilayah kota tanpa diskriminasi bagi berbagai kelompok terutama kelompok rentan, opsi sarana mobilitas berierientasi pada rendah emisi, efisiensi energi dan ruang.
“Selain itu, saat krisis iklim mengemuka dan masyarakat global gelisah lalu berusaha mengendalikan penyebab krisis iklim ini. Cara ditempuh mengendalikan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kegiatan sehari-hari, kegiatan industri dan kegiatan transportasi serta proses pembangunan,” kata Safrudin, Minggu (16/4).
Sehingga GRK mencakup karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (N2O), metana (CH4), dan freon (SF6, HFC dan PFC dapat ditekan.
Nah, akibat dari emisi karbon akan sangat berdampak buruk bagi kehidupan manusia di bumi ini, yaitu menjadi salah satu senyawa Green House Gas melingkupi lapisan stratosfer. Sehingga sebagian radiasi panas matahari masuk ke atmosfer tidak dapat di lepas ke angkasa luar (green house gas effect).
Keadaan itu menyebabkan atmosfer meningkat suhunya (global warming), biang kerok dari krisi iklim yang menyebabkan berbagai bencana iklim. Ditandai fenomenda La Nina dan El Nino sehingga sering terjadi bencana banjir, badai, tanah longsor, kekeringan, kebakaran hutan, gelombang panas, gagal panen dan meluasnya kawasan endemic penyakit tertentu seperti malaria.
Sejalan dengan langkah itu, emisi pencemaran udara (PM10, PM2.5, HC, CO, NOx, O3, Sox) juga dapat dikendalikan sehingga kualitas udara perkotaan menjadi lebih sehat.
“Beban emisi DKI Jakarta dari transportasi mencapai 19.165 ton/hari, bersumber dari sepeda motor (45%), truk (20%), bus (13%), mobil diesel (6%), mobil bensin (16 %), dan kendaraan roda tiga (0,23%), sementara beban CO2 mencapai 318.840 ton/hari bersumber dari truk (43%), bus (32%), sepeda motor (18%), mobil bensin (4%), mobil diesel (3%), dan tiga -roda (0,01%),” ungkap Safrudin.
“Untuk itu, DKI Jakarta harus melakukan langkah progresif melindungi warganya dari pencemaran udara sengat tidak sehat, sekaligus berkontribusi pengendalian emisi GRK guna memitigasi krisis iklim,” ujar Safrudin.
Sehingga kebijakan ditempuh membangun fasilitas angkutan umum masal (BRT Trans Jakarta dengan jaringan Jaklingko) dipadu kebijakan Non Motorized Transport (NMT) yaitu fasilitas pejalan kaki dan lajur sepeda cara tepat dan efektif dalam rangka menekan emisi sekaligus mengendalikan kemacetan mendera Jakarta berpuluh tahun.
Kebijakan Gubernur DKI Jakarta, sambungnya, telah dilaksanakan dalam dua dekade cukup membuahkan hasil. Emisi GRK dan emisi pencemaran udara dapat ditekan dengan angka konstan. Sekalipun terjadi peningkatan akvitas industri, transportasi dan proses pembangunan.
Sayangnya, jalan panjang menjadi Ibukota DKI sebagai kota laik huni, accessable dan rendah emisi harus hancur dalam satu malam, diduga akibat kebijakan Pj Gubernur DKI, Heru Budi yang diduga menghapus lajur sepeda dan fasilitas pejalan kaki di perempatan Santa (Jalan Wolter Monginsidi, Jalan Suryo dan Jalan Wijaya).
“Pengembangan lajur sepeda di Jakarta paling progresif di dunia saat ini, jadi seharusnya dipertahankan dan diperluas secara massif di seluruh wilayah kota. Apapun dilakukan DKI akan menjadi benchmark bagi kota-kota lain tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Asia Tenggara. Lajur sepeda selain sebagai penanda kemajuan peradaban kota, juga sangat efektif mengendalikan kemacetan dan emisi kendaraan,” tegas Fahmi Saimima, Ketua Umum Bike To Work Indonesia.
“Apa yang sudah dikembangkan Pemerintah DKI, hendaknya dipertahankan dan jangan set back agar masyarakat terfasilitasi baik untuk memanfaatkan non-motorized mobility terutama berjalan kaki. Penghancuran trotoar menjadi jalan raya, jelas langkah set back,” ungkap Alfres Sitorus, Ketua Koalisi Pejalan Kaki.
Sementara, Bondan Andrianu, Greenpeace menambahkan, penghilangan lajur sepeda dan fasilitas pejalan kaki di Jalan Santa itu diduga bertentangan amanat putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Warga Negara atas pencemaran udara Jakarta.
“Seharusnya fasilitas NMT itu diperluas dalam rangka merealisasikan peningkatan kualitas udara sebagai mana amanat putusan PN Jakarta Pusat,” katanya.
“Di saat dunia sedang melakukan transisi moda transportasi, Jakarta justru memukul mundur peradaban transportasi, bertepatan dengan dunia memiliki rencana UN Global Road Safety Week 2023 dengan tema #ReThinkMobility, kami justru dibuat kecewa akan kemunduran ini,” tandas Rio Octaviano, Road Safety Association.
“Penghapusan lajur sepeda dan fasilitas pejelan kaki di Jalan Santa itu bakal menjadi preseden buruk bagi pengembagan fasilitas NMT dan angkutan umum masal, sekaligus mengacaukan peta layanan mobilitas di DKI,” timpal Koordinator FDTJ.
Hasil survei selama 24 jam di area kebayoran baru (ITDP, 2021) menemukan bahwa area itu merupakan kawasan ekonomi. Lebih dari 50% pengguna ruang jalan utamanya trotoar pedagang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), sisanya pejalan kaki, baik untuk kegiatan ekonomi maupun umum.
Dari survei sama pada Februari 2021, didapati bahwa pukul 09.00-19.00 WIB menjadi waktu dengan tingkat profil risiko sangat tinggi bagi pejalan kaki dan sepeda di kawasan Kebayoran Baru. Akibat dari okupansi kendaraan di trotoar dan kecelakaan lalu lintas akibat perilaku pengendara kendaraan bermotor, termasuk Jalan Wolter Monginsidi.
Selain itu, pukul 00.00-03.00 WIB, didapati kendaraan melaju lebih dari 60km/jam dan melawan arah di Jalan Woltermonginsidi.
Permasalahan kawasan Kebayoran Baru terkait kendaraan bermotor, bukan karena kekurangan ruang. Namun jumlah penggunaan kendaraan terus meningkat.
Deliani Siregar dari ITDP mengatakan, penambahan jalan untuk kendaraan bermotor tidak pernah menjadi solusi mengatasi kemacetan.
“Penambahan jalan malah semakin mengundang kendaraan bermotor pribadi menggunakan jalan dan bagian dari siklus ketergantungan penggunaan kendaraan bermotor pribadi di kota”.
Dampaknya, membuat kualitas layanan transjakarta turun adanya perbedaan kecepatan 28% antara koridor steril dan tidak steril (ITDP, 2022). Selain itu, 45% (ITDP, 2019) warga mengalami kesulitan berjalan kaki di trotoar karena parkir liar yang 90% (KoPK, 2021) mengokupansi trotoar.
Dampak tidak terlihat dari ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi dibebankan kepada masyarakat, utamanya masyarakat rentan. Setidaknya 58,1% penyakit di Indonesia disebabkan polusi udara (KPBB, 2016), dan 30% kecelakaan di jalan korbannya adalah pejalan kaki (Kemenhub, 2013).
Selain itu, tentu kemubaziran anggaran atas penghancuran fasilitas pejalan kaki dan lajur sepeda itu bukannya tidak berimplikasi perbuatan melawan hukum. Puluhan miliar rupiah dialokasikan kemudian dihancurkan hanya dalam satu malam.
“Kemubaziran pengelolaan anggaran ini merupakan pidana penghilangan asset negara dan harus diusut tuntas, apalagi asset belum berumur lima tahun”.
Dalih mengendalikan kemacetan kendaraan pribadi, menurutnya, mengada-ada. Mengingat di kawasan itu tersedia fasilitas BRT Trans Jakarta sebagai opsi agar terhindar dari kemacetan. Kemacetan kendaraan pribadi (mobil maupun sepeda motor) harus diabaikan.
“Mengingat sudah ada solusi berupa mass public transport, jalur sepeda dan fasilitas pejalan kaki di kawasan itu. Kemacetan adalah disreward atau punishment bagi mereka masih bertahan dengan kendaraan pribadi, jadi biarkan saja,” timpalnya.
“Kami akan melakukan upaya hukum apabila keberadaan fasilitas pejalan kaki dan lajur sepeda tidak dikembalikan sebagaimana sebelumnya,” tegasnya. (Joesvicar Iqbal)