Ketika melakukan inovasi teknologi dengan genetic engineering, yaitu bagaimana bibit itu dimodifikasi, sehingga produktivitasnya meningkat. “Misalnya produksi tebu, rata-rata satu hektare hanya menghasilkan 60 hingga 70 ton tebu per hektare. Di India atau Brazil, bisa 140 ton tebu per hektare. Jadi dua kali lipat, sehingga genetic engineering ini diperlukan,” tandasnya.
Tidak kalah pentingnya, tutur Marsudi, pada tahap transportasi bahan baku, kita membutuhkan teknologi pascapanen. “Indonesia adalah negara dengan food loss atau pangan yang rusak cukup tinggi, mencapai 30 persen,” ungkapnya.
Dikatakan Marsudi, gudang penyimpanan dengan dinding beton, menyebabkan bahan baku pangan seperti beras cepat rusak. “Inovasi controlled atmospheric storage (CAS) merupakan ruang penyimpanan, tapi atmosfernya dikendalikan, sehingga bakteri-bakteri pembusuknya tidak hidup, salah satunya dengan menggunakan ozon. Di luar negeri sudah biasa, tapi di Indonesia belum banyak yang mengembangkan,” ulasnya.
Menurut Marsudi, negara eksportir pangan besar dunia tidak selalu negara dengan lahan yang luas. Negara pengekspor pangan besar dunia tertinggi adalah Amerika, Serikat, Belanda, Jerman, dan Brazil.