IPOL.ID-Belakangan ini seringkali kita mendengar berbagai keluhan masyarakat yang disampaikan melalui media sosial.
Sesungguhnya yang demikian merupakan salah satu sarana memanfaatkan platform digital bagi ragam kepentingan.
Meskipun demikian, tak jarang pula luapan penyesalan dan protes turut disampaikan secara terbuka di media sosial seperti facebook, IG, Tiktok, dan lain sebagainya ketika merespon suatu realitas.
Akumulasi penyesalan sebagian warga tersebut biasanya karena diperhadapkan pada masalah serius dalam realitas kehidupan sehari-hari yang dianggapnya penting.
Tak jarang pula kekesalan dan emosi yang tak terkontrol seringkali melahirkan masalah baru seperti ungkapan yang dapat dipandang mengandung ujaran kebencian, dan lain-lain.
Yang demikian tentunya bukan sebagai solusi melainkan masalah baru dari yang sebelumnya. Penyebarluasan berita hoax, hujaran kebencian dan tindakan bermedia sosial lainnya yang jauh dari kata “bijak”.
Atas alasan dan realitas inilah maka semakin diperlukan kampanye makin cakap digital sebagaimana yang dilakukan oleh manajemen project literasi digital provinsi Maluku Utara pada Ahad (9 /4) malam dalam rangkaian acara Festival Cahaya Ramadhan yang untuk ke-3 kalinya digelar di bulan suci ramadhan sejak tahun 2018 lalu kemudian harus mengalami kefakuman karena Covid-19 baru-baru ini.
Kampanye makin cakap digital yang diselenggarakan pada momen tersebut berupa talkshow bertajuk: “Menjadi Netizen Yang Bijak Dalam Bermedia Sosial”.
Menghadirkan para narasumber yaitu para konten kreator seperti Eko Cahyomo Kodja, S.Km (Saya Khoko), M. Alief Zidan, SH (Pricillia Kharie), Rahman Muhammad (Tete Kho), Firman Mudaffar Sjah, SE (Pembina FRP), Nazlatan Ukhra Kasuba (inspiratory), yang dipandu langsung oleh moderator Iga Almira, SPd.
Firman Mudaffar Sjah dalam sambutannya menyampaikan bahwa salah satu yang membedakan festival FRP dari pada festival-festival ramadhan lainnya adalah:
“Adanya muatan acara yang lebih berorientasi pada pelestarian kebudayaan lokal serta kearifan lokal yang hidup dalam masyarakat,” ujarnya.
Pada bagian yang lain, dalam kaitannya dengan bagaimana pandangannya menyikapi komentar para netizen dalam bermedia sosial (terkadang membangun namun juga menjatuhkan)? Saya Khoko menguraikan bahwa “pengaruh media sosial sangatlah besar terhadap seseorang, dimana bisa membuat seseorang menjadi baik namun juga sebaliknya bisa membuat seseorang menjadi jahat.” Itulah efek yang selalu menyertai dalam bermedia sosial, pungkasnya.
Menitik beratkan pada pentingnya memperhatikan etika digital dalam setiap bermedia sosial. Menurutnya bahwa sebelum memposting sesuatu konten, dirinya selalu mempertimbangkan secara matang terkait salah satu hal penting sebagai pilar literaas digital yaitu soal etika digital.
Hal yang berbeda dalam pandangan Alief Zidan (Pricillia) bahwa seorang konten kreator membutuhkan aspek kebebasan untuk mengekspresikan segala potensi dan sumber daya yang dia miliki untuk dijadikan sebagai konten.
Adalah hal yang menarik dari pandangan Pricillia yang lebih menekankan kebebasan berekspresi di media sosial sebagaimana lakon yang selalu dimainkan di setiap konten platform digital miiliknya yaitu selalu tampil dengan karakter yang lebih dikenal dengan sosok Pricillianya, yaitu sosok yang selalu ceria dan enerjik di setiap konten media sosialnya
Menarik dalam ulasannya, turut mengutip beberapa pasal dalam Undang-undang yang secara normatif memberikan peluang terhadap setiap warga negara untuk mengekspresikan hak dan kebebasannya. Tentunya hal ini menjadi nilai edukatif bagi pengunjung yang hadir pada sesi talkshow makin cakap digital malam itu.
Secara keseluruhan, para narasumber tampil maksimal dengan menyampaikan berbagai gagasan-gagasan kreatif, edukatif dan juga informatif secara elegan dalam menanggapi sejumlah pertanyaan substansial terkait tema diperbincangkan yang diajukan oleh sang moderator.
Secara keseluruhan pula para narasumber mampuh memberikan setiap tanggapan atau jawaban mereka dengan mengaitkannya dengan empat pilar literasi digital yang selalu dikampanyekan dalam setiap kesempatan yakni: cakap digital, etika digital, budaya digital dan keamanan digital.
Nampak ribuan pengunjung dan peserta secara serius mendengar dan memaknai setiap tanggapan yang disampaikan oleh para narasumber selama talkshow berlangsung, tak terkecuali Walikota Ternate serta para tamu undangan yang menyaksikan secara lebih dekat diatas panggung acara malam itu.
Sungguh, sebuah gelaran kolaboratif yang terbilang sukses digelar secara chip in tentunya, baik secara kuantitas jumlah pengunjung yang memadati lapangan Sonyie Lamo Kesultanan Ternate tersebut maupun kualitas mutu dan antusiasme para tamu undangan di setiap tahapan gelaran acara, termasuk ketika talkshow berlangsung hingga selesai. (bam)