IPOL.ID – Partai oposisi Timor Leste memenangkan pemilu parlemen hari Minggu (21/5). Itu berarti pejuang kemerdekaan Xanana Gusmao tampaknya akan kembali menjadi Perdana Menteri di negara demokrasi termuda di Asia.
Partai pahlawan kemerdekaan Timor Leste Xanana Gusmao memenangkan pemilu parlemen tetapi gagal meraih suara mayoritas, Selasa (23/5).
Hasil resmi perhitungan Komisi Pemilu menunjukkan partai oposisi Kongres Nasional untuk Rekonstruksi Timor (CNRT) memimpin dengan 41,6 persen suara, sementara lawan utamanya dan pemimpin koalisi petahana Fretilin mendapat 25,7 persen.
Hasil pemilu hari Minggu (21/5) membuka jalan bagi Gusmao, presiden pertama Timor Leste yang berusia 76 tahun, untuk kembali berkuasa jika ia dapat membentuk koalisi.
Karena tidak ada pemenang langsung, konstitusi memberikan kesempatan kepada partai dengan suara terbanyak untuk membentuk koalisi.
Para pemilih memberikan suara mereka untuk 65 kursi di parlemen, dan berharap untuk mengakhiri bertahun-tahun kebuntuan di negara termuda di Asia itu.
CNRT mendapatkan 31 kursi di parlemen, dan harus menjalin koalisi dengan satu atau lebih partai lain.
Partai itu memenangkan pemilihan presiden tahun lalu, dengan sekutu Gusmao dan peraih Nobel Perdamaian Jose Ramos-Horta mengambil posisi itu. Namun Fretilin, yang secara resmi dikenal sebagai Front Revolusioner untuk Timor Leste Merdeka, memimpin pemerintahan koalisi petahana.
Fretilin berjuang untuk mengakhiri pendudukan Indonesia atas Timor Leste, dan Gusmao memimpin sayap militernya.
Gusmao menghabiskan tahun-tahun terakhir pendudukan di balik jeruji besi, dan terpilih sebagai presiden pertama Timor Leste pada tahun 2002 setelah negara itu memperoleh kemerdekaan.
Ia berpisah dari Fretilin pada tahun 2007 untuk mendirikan CNRT. Tahun itu, ia menjadi perdana menteri dan bertugas untuk jabatan itu hingga 2015.
Departemen Luar Negeri AS mengucapkan selamat kepada Timor Leste, atas “pemilihan yang bebas, adil, dan transparan”.
“Pemilihan ini mencerminkan komitmen rakyat Timor Leste terhadap demokrasi dan proses politik yang damai dan berfungsi sebagai inspirasi bagi demokrasi secara global,” kata juru bicara Matthew Miller dalam sebuah pernyataan dikutip dari VOA Indonesia pada Rabu (24/5).
Namun, pertanyaan telah mengemuka di negara itu tentang lambatnya proses penghitungan suara dan penundaan publikasi hasil, yang memakan waktu lebih dari 35 jam setelah pemungutan suara ditutup — lebih lama daripada pemilihan sebelumnya.
Lebih dari dua dekade setelah merdeka, Timor Leste masih berkutat dengan kemiskinan, akibat pandemi COVID dan bencana alam dahsyat, termasuk topan pada tahun 2021 yang menewaskan sedikitnya 40 orang.
Anggaran bekas jajahan Portugal itu sangat bergantung pada pendapatan minyak, tetapi pendapatan dari proyek bahan bakar fosil yang ada diperkirakan akan segera habis. (VOA Indonesia/Far)