IPOL.ID – China, tempat COVID-19 pertama kali diidentifikasi menular pada manusia lebih dari tiga tahun lalu, memperkirakan gelombang penularan yang terjadi saat ini akan mencapai sebanyak 65 juta kasus per minggu pada akhir Juni, menurut akun resmi model yang dipresentasikan pada konferensi kesehatan.
Walaupun jumlah tersebut tampaknya cukup besar bagi dunia yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi, di mana jumlah korban COVID-19 terus meningkat dengan 767 juta kasus yang terkonfirmasi dan lebih dari 6,9 juta kematian, gelombang baru yang muncul di China diperkirakan datang dengan gejala yang tidak terlalu parah, kata Wang Guiqiang, direktur Departemen Penyakit Menular di Peking University First Hospital, kepada surat kabar resmi Beijing Daily dikutip VOA Indonesia, Rabu (7/6).
Menurut para pakar, wabah baru tersebut kemungkinan terbatas hanya terjadi di China. Raj Rajnarayanan, asisten dekan penelitian dan profesor di New York Institute of Technology dan pelacak varian COVID teratas, mengatakan kepada Fortune bahwa terkait varian XBB, “seluruh dunia telah mengalami semua.” Tetapi “China baru kali ini mengalaminya.”
Berbicara dalam konferensi di Guangzhou pada 22 Mei lalu, pakar penyakit pernapasan Zhong Nanshan mengatakan gelombang penularan terbaru, yang dimulai pada akhir April, telah “diantisipasi.” Modelnya menunjukkan bahwa pada akhir Juni, jumlah infeksi mingguan akan mencapai 65 juta, menurut situs resmi Global Times.
Setelah melonggarkan lockdown yang diterapkan berdasar kebijakan “nol-COVID”, China dilanda varian omicron yang berbeda pada Desember 2022 dan Januari 2023.
CNN melaporkan sekitar 80 persen dari 1,4 miliar warga China tertular selama periode tersebut, menurut Wu Zunyou, kepala ahli epidemiologi di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China, pada Januari. Saat itu, pasien tampak memadati rumah sakit dan keluarga menunggu berhari-hari untuk mengkremasi mereka yang meninggal.
Umumnya orang tidak menganggap serius gelombang COVID terbaru, kata Mr. Lin, yang meminta namanya disamarkan karena sensitifnya masalah tersebut. Penduduk Quanzhou di provinsi Fujian itu mengatakan, “Mereka beraktivitas seperti biasa dan tidak melakukan perlindungan apa pun. Tidak ada yang memakai masker.”
Lin mengatakan kepada VOA Mandarin bahwa dia terinfeksi pada pertengahan Desember 2022, sesaat setelah Beijing mencabut kebijakan lockdown-nya, yang membuat perekonomian negara tersebut kacau balau.
Ia lalu menyadari bahwa dirinya kembali tertular pada bulan Mei lalu. Lin mengatakan dia mengetahui sejumlah orang yang tampaknya juga terinfeksi kembali dan tidak melakukan tes COVID karena gejala yang mereka derita sangat ringan. (VOA Indonesia/far)